APLIKASI KONSEP EKONOMI KERAKYATAN DALAM PENGELOLAAN UMKM BATIK SUMBERJAMBE KABUPATEN JEMBER
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekonomi kerakyatan menjadi wacana yang cukup fenomenal saat ini di tengah
maraknya isu pelaksanaan neoliberal dalam perekonomian Indonesia.
Walaupun sebenarnya perbincangan mengenai pelaksanaan ekonomi kerakyatan telah
muncul jauh sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Masa kolonialisme
yang mengakibatkan penderitaan rakyat menjadi latar belakang munculnya ide
ekonomi kerakyatan. Hal ini didasarkan pada tulisan-tulisan yang muncul pada
masa itu sebagai kritik terhadap struktur perekonomian yang bercorak kolonial,
dimana sistem tersebut hanya berdampak pada kemerosotan perekonomian Indonesia.
Seperti yang diungkapkan oleh Drs.
Revrisond Baswir, MBA bahwa Bung Hatta dalam artikelnya yang
berjudul Ekonomi Rakyat di harian Daulat Rakyat (Hatta, 1954).
Dalam artikel yang diterbitkan tanggal 20 Nopember 1933 secara jelas
mengungkapkan kegusaran Bung Hatta dalam menyaksikan kemerosotan kondisi
ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.[1]
Ekonomi kerakyatan sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 adalah
sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat
dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai
berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan
segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga diharapkan
sistem ekonomi kerakyatan ini mampu membawa angin segar dalam perekonomian
Indonesia yang terwujud dalam perbaikan perekonomian rakyat, bukan sekedar
usaha untuk menambah pundi-pundi kekayaan para pemilik modal yang
tumbuh subur dalam atmosfir neoliberal.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan aplikasi ekonomi kerakyatan yang strategis dan senantiasa
mengembangkan kreativitas usaha, sehingga terciptanya terobosan-terobosan baru
untuk pengembangan dan peningkatan daya saing dan mampu menyediakan lapangan
usaha, penyerapan tenaga kerja, serta
pendistribusian hasil-hasil inovasi. Di samping itu, UMKM juga menjadi
penyumbang terbesar bagi PDB Indonesia tahun 2009, yaitu sebesar 55,53%.[2] Berdasarkan data dari depkopnas,
perkembangan UMKM mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik dari segi
unit usaha, tenaga kerja, dan PDB. Berikut ini data yang disajikan oleh
depkopnas:
|
2008
|
2009
|
Segi usaha
|
51.409.612
|
52.764.603
|
Tenaga kerja
|
94.024.278
|
96.211.332
|
PDB atas dasar harga berlaku
|
2.613.226 (milliar)
|
2.993.151 (milliar)
|
PDB atas dasar harga konstan
2000
|
1.165.753 (milliar)
|
1.214.725 (milliar)
|
Saat ini, batik menjadi komoditi yang cukup
menjanjikan untuk dikelola dalam bentuk UMKM. Apalagi dunia melalui UNESCO
sudah mengakui batik Indonesia sebagai budaya tak-benda, sehingga pengakuan
tersebut membuat bangga masyarakat Indonesia yang sudah turun-temurun membuat
batik. Pengakuan tersebut akhirnya membuat banyak daerah memunculkan corak
batiknya. Bila batik Pekalongan, Solo, Yogya dan Madura sudah banyak dikenal
masyarakat Indonesia dan dunia, namun belum untuk daerah lain.
Kabupaten Jember sebagai daerah
penghasil tembakau mencoba untuk membuat inovasi berupa batik lokal dengan
motif tembakau sebagai motif khasnya. Batik lokal ini dikenal dengan nama batik
Sumberjambe. Menurut Subaidi, Kepala Bidang Industri, Departemen Perdagangan
dan Perindustrian, saat ini, ada tiga kelompok industri rumah tangga yang
mengembangkan usaha batik Sumberjambe. Mereka memiliki puluhan buruh pembatik
yang berasal dari warga desa setempat.[3]
Pengembangan usaha ini memerlukan suatu konsep dan prinsip-prinsip yang tepat
dalam pengelolannya. Dalam hal ini, ekonomi kerakyatan menjadi konsep yang strategis
dalam pengelolaan UMKM sebagai pemain utama dalam perekonomian Indonesia.
Bertitik tolak dari latar belakang
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terhadap aplikasi konsep ekonomi
kerakyatan dalam pengelolaan UMKM Batik Sumberjambe Kabupaten Jember sebagai
salah satu potensi lokal yang dapat menyokong perekonomian rakyat.
1.1
Rumusan
Masalah
Seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang
penelitian bahwa sistem perekonomian Indonesia saat ini menggunakan prinsip ekonomi
kerakyatan yang diaplikasikan dalam
pengelolaan UMKM. Dimana dengan penerapan prinsip ekonomi kerakyatan tersebut
diharapkan UMKM mampu meningkatkan dan meratakan pendapatan penduduk daerah
setempat, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu sebagai
berikut: “Bagaimana aplikasi ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan UMKM Batik
Sumberjambe Kabupaten Jember?”
1.2
Tujuan
Penelitian
1.2.1 Untuk
memperkenalkan Batik Sumberjambe sebagai potensi lokal Kabupaten Jember di
kancah nasional
1.2.2 Untuk
mengetahui potensi Batik Sumberjambe dalam meningkatkan perekonomian masyarakat
Kabupaten Jember.
1.2.3 Untuk
mengetahui peran ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan UMKM Batik Sumberjambe
Kabupaten Jember.
1.3
Manfaat
Penelitian
1.3.1 Masyarakat
luas mengetahui keberadaan Batik
Sumberjambe sebagai potensi lokal Kabupaten Jember
1.3.2 Masyarakat
sadar akan peluang atau potensi Batik Sumberjambe dalam meningkatkan
perekonomian masyarakat
1.3.3 Dapat
mengetahui peran ekonomi kerakyatan di dalam pengelolaan UMKM Batik Sumberjambe
Kabupaten Jember
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Ekonomi Kerakyatan
Landasan konstitusional mengenai konsep ekonomi kerakyatan
terdapat pada pasal 33 UUD 1945, yang berisi: (1) Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4) perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.
Dalam Pasal 33 UUD 1945
tersebut, ungkapan ekonomi kerakyatan memang tidak ditemukan secara eksplisit.
Ungkapan konsepsional yang tercantum dalam penjelasan Pasal 33 itu adalah
mengenai ‘demokrasi ekonomi’. Walaupun demikian, mengacu pada definisi kata
‘kerakayatan’ sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta (Hatta, 1932),
serta penggunaan kata kerakyatan pada sila keempat Pancasila, tidak terlalu
sulit untuk disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan
sesungguhnya tidak lain dari demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam
penjelasan pasal 33 UUD 1945 itu. Artinya, ekonomi kerakyatan hanyalah ungkapan
lain dari ungkapan demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam penjelasan
Pasal 33 UUD 1945 tersebut (Baswir, 1995).
Baswir (2008) menjelaskan bahwa dalam pasal 33 tercantum
dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Drs. Revrisond
Baswir, MBA juga menguraikan bahwa
berdasarkan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu, dapat disaksikan bahwa substansi
ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut: (1)
Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional; (2)
Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi
nasional; (3) Kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi
nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota
masyarakat.
2.2 Tinjauan
Mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Menurut UU No. 29 Tahun 2008, usaha mikro adalah usaha
produktif milik orang perorang dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi
kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kriteria usaha
mikro sebagaimana diatir dalam UU No. 29 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
a.
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha; atau
b.
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)
Ciri-ciri usaha mikro antara lain:
1.
Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu
tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;
2.
Tempat usahanya tidak selalu menetap,
sewaktu-waktu dapat pindah tempat;
3.
Belum melakukan administrasi keuangan yang
sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan
usaha;
4.
Sumberdaya manusianya (pengusahanya) belum
memiliki jiwa wirausaha yang memadai;
5.
Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat
rendah;
6.
Umumnya belum akses kepada perbankan, namun
sebagian dari mereka sudah akses kepada lembaga keuangan non bank;
7.
Umumnya tidak memiliki izin usaha atau
persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP.
Menurut undang-undang No.20 Tahun
2008 usaha kecil adalah usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang-perorangan
atau badan usaha yang bukan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil
sebagaimana dimaksud dalam undang undang ini. Kriteria usaha kecil menurut UU
No 20 tahun 2008 adalah sebagai berikut:
a.
Memiliki kekayaan bersih lebih banyak, dari
50.000.000 sampai dengan paling banyak 500.000.000 tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha
b.
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari
300.000.000 sampai dengan paling banyak 2.500.000.0000.
Ciri-ciri usaha kecil antara
lain:
1.
Jenis barang/komoditi usahanya sudah tetap,
tidak gampang berubah-ubah;
2.
Tempat usahanya sudah menetap
3.
sudah melakukan administrasi keuangan yang
sederhana sekalipun, dan memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha,
sudah membuat neraca;
4.
Sumberdaya manusianya (pengusahanya) sudah cukup
berpengalaman dalam berwirausaha;
5.
Sebagian sudah akses kepada perbankan, namun
sebagian dari mereka sudah akses kepada lembaga keuangan non bank;
6.
Sebagian besar belum bisa membuat manajemen
usaha yang baik, seperti bussiness plan.
Sesuai dengan UU No 20 tahun 2008 usaha menengah adalah
usaha ekonomi produktif yang bekerja sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan
atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsungd engan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau
hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Kriteria usaha menengah menurut UU No. 20 Tahun 2008 yaitu:
a.
Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp
500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp
10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha; atau
b.
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp
2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia
dan terbukti menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis,
serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi. Selain
menjadi sektor usaha yang paling besar kontribusinya terhadap pembangunan
nasional, UMKM juga menciptakan peluang kerja yang cukup besar bagi tenaga
kerja dalam negeri, sehingga sangat membantu upaya mengurangi pengangguran.[4]
Berdasarkan data Bapkopnas tahun 2009, perkembangan
UMKM di Indonesia mengalami peningkatan jika diukur melalui 4 indikator berikut
ini:
2.3 Batik Sumberjambe Kabupaten Jember
Jember merupakan salah satu kabupaten yang dikenal sebagai
produsen tembakau, sehingga tidak heran para perajin batik di kabupaten ini
berusaha mempertahankan motif tembakau sebagai motif batik khas Jember.
Sekilas, “batik sumberjambe” terlihat hampir sama dengan batik di daerah
lainnya yang kaya dengan motif dan penuh dengan sentuhan seni para pembatiknya.
Akan tetapi ternyata Batik Sumberjambe mempunyai ciri khas motif batik berupa
daun tembakau. Motif daun tembakau ini dari ukuran kecil sampai dengan ukuran
besar. Harga batik Jember juga terjangkau, batik cap dengan bahan kain katun
dijual sebesar Rp65 ribu-Rp80 ribu per-potong, batik tulis yang menggunakan
bahan kain katun dijual dengan Rp85 ribu-Rp150 ribu perpotong. Untuk batik dari
bahan kain sutera dijual dengan harga Rp300 ribu perpotong, apabila menggunakan
batik cap harganya sekitar Rp125 ribu per-potong. Harga ini lebih murah
dibandingkan sejumlah harga kain batik di beberapa daerah. banyak warga Jember
dan luar Jember yang memesan batik dengan motif daun tembakau karena sudah
menjadi ciri khas Kabupaten Jember, yang dikenal sebagai kota tembakau. hampir sebagian besar warga Jember dan luar
Jember memilih motif tembakau yang dikombinasikan dengan motif bunga, parang
dan tumbuhan yang dibuat semenarik mungkin, sehingga kombinasi coraknya serasi.
Sejauh ini, kata dia, perajin batik di Kecamatan Sumberjambe berusaha mempertahankan
motif daun tembakau sebagai motif yang khas Jember, meski beberapa perajin
batik di luar Jember menggunakan motif daun tembakau.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian berkaitan dengan pendekatan serta
metode penelitian yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah tersebut.
3.1.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif menggunakan pendekatan kualitatif (naturalistik). Pendekatan
kualitatif berkaitan dengan penelitian langsung di lapangan. Yang mana dengan
pendekatan ini akan mempermudah pengambilan data, sebab data merupakan
deskripsi dalam waktu dan situasi tertentu.
3.1.2 Metode Penelitian
Adapun metode dari penelitian ini ialah metode
deskriptif. Yang mana mendeskripsikan peristiwa atau kejadian yang terjadi saat
ini.Selain itu peneliti juga berupaya memotret kejadian yang sedang terjadi di
sekitarnya.
3.2 Setting Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sumberpakem,
Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember. Peneliti memilih Desa Sumberpakem karena tempat ini merupakan sentra batik khas
Kabupaten Jember, sekaligus Desa Sumberpakem merupakan tempat tinggal dari
pencetus batik motif daun tembakau ini.
3.2.2 Waktu Penelitian
Tabel 1. Waktu Penelitian
No.
|
Waktu
Pelaksanaan
|
Jenis
Kegiatan
|
1.
|
4-5 September 2011
|
Pembentukan
kelompok, pengumpulan dan pemilihan ide penelitian
|
2.
|
6-9 September 2011
|
Mencari
literatur dan wawancara dengan informan
|
3.
|
10-13 September 2011
|
Mengolah
data dan pembuatan karya tulis
|
4.
|
14 September 2011
|
Pengiriman
karya tulis
|
3.3 Informan Penelitian
Informan penelitian adalah orang yang menguasai serta
memahami objek penelitian dan mampu menjelaskan secara rinci masalah yang
diteliti. Dalam hal ini adalah pengrajin Batik dari Desa Sumberpakem, Kecamatan
Sumberjambe, Kabupaten Jember.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data erat kaitannya dengan metode
pengumpulan data dan instrumen pengumpulan data. Metode dalam penelitian ini
adalah metode wawancara. Dengan metode ini kita dapat memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan dengan mengunakan panduan wawancara.
3.5 Teknik Analisis Data
Marshall dan Rossman mengajukan teknik analisa
data kualitatif untuk proses analisis data dalam penelitian ini. Dalam
menganalisa penelitian kualitatif
terdapat beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan (Marshall dan
Rossman dalam Kabalmay, 2002), diantaranya
:
1.
Mengorganisasikan
Data
Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek
melalui wawancara mendalam (indepth
inteviwer), dimana data tersebut direkam dengan tape recorder dibantu alat tulis lainya. Kemudian
dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi
bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang
agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah di dapatkan.
2.
Pengelompokan
berdasarkan Kategori, Tema dan pola jawaban
Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data,
perhatiaan yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa
yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti
menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan coding. Dengan pedoman ini, peneliti
kemudian kembali membaca transkip wawancara dan melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok
pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat, kemudian
dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis yang telah
dibuat.
Pada penelitian ini, analisis dilakukan terhadap sebuah kasus yang
diteliti. Peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap
hal-hal diungkapkan oleh responden. Data yang telah dikelompokan tersebut oleh
peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting
serta kata kuncinya. Sehingga peneliti dapat menangkap penagalaman,
permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek.
3. Menguji
Asumsi atau Permasalahan yang ada terhadap Data
Setelah
kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut
terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini kategori
yang telah didapat melalui analisis ditinjau kemabali berdasarkan landasan
teori yang telah dijabarkan dalam bab II, sehingga dapat dicocokan apakah ada
kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai. Walaupun
penelitian ini tidak memiliki hipotesis tertentu, namun dari landasan teori
dapat dibuat asumsi-asumsi mengenai hubungan antara konsep-konsep dan
factor-faktor yang ada.
4. Mencari
Alternatif Penjelasan bagi Data
Setelah kaitan
antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud, peneliti masuk ke dalam
tahap penejelasan. Dan berdasarkan kesimpulan yang telah didapat dari kaitanya
tersebut, penulis merasa perlu mencari suatau alternative penjelasan lain
tetnag kesimpulan yang telah didapat. Sebab dalam penelitian kualitatif memang
selalu ada alternative penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada
kemungkinan terdpat hal-hal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir
sebelumnya. Pada tahap ini akan
dijelaskan dengan alternative lain melalui referensi atau teori-teori lain.
Alternatif ini akan sangat berguna pada bagian pembahasan, kesimpulan dan
saran.
5. Menulis Hasil Penelitian
Penulisan data subjek yang telah berhasil
dikumpulkan merupakan suatu hal yang membantu penulis unntuk memeriksa kembali
apakah kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini,
penulisan yang dipakaiadalah presentase data yang didapat yaitu, penulisan
data-data hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan
subjek dan significant other. Proses dimulai dari data-data yang diperoleh dari
subjek dan significant other, dibaca berulang kali sehinggga penulis mengerti
benar permasalahanya, kemudian dianalisis, sehingga didapat gambaran mengenai
penghayatan pengalaman dari subjek. Selanjutnya dilakukan interprestasi secara
keseluruhan, dimana di dalamnya mencangkup keseluruhan kesimpulan dari hasil
penelitian.
BAB
IV
PEMBAHASAN
3.1 Batik
Sumberjambe sebagai Potensi Lokal Kabupaten Jember
Batik adalah
salah satu jenis kain yang memiliki corak khas yang merupakan kekayaan budaya Indonesia. Disetiap daerah di
Indonesia memiliki pola kain batiik yang berbeda-beda, corak kain tersebut terkadang disesuaikan dengan
ciri khas dari masing-masing daerah. Jember adalah salah satu daerah di
Indonesia yang memiliki batik dengan corak atau pola yang sangat khas.
Terinspirasi dari kesuburan alam jember yang menyimpan kekayaan alam yang
begitu besar, menjadikan corak-corak batik jember lebih mengarah ke pola alam.
Misalnya saja, pola daun tembakau, bunga tembakau, pola bunga-bunga ada juga
pola pepohonan.
Sebagai
salah satu ciri khas dari Kabupaten Jember, batik Sumberjambe yang dikenal
dengan sebutan “Batik Tobaco” ini oleh sebagaian masyarakat Jember yang peduli
akan kebudayaan daerah menyimpan potensi yang sangat besar untuk kemajuan
Kabupaten Jember. Pengelolaan yang baik, tidak menutup kemungkinan akan
meningkatkan perekonomian masayarakat Sumberjambe kususnya dan meningkatkan
pendapatan daerah Kabupaten Jember pada umumnya. Karena dengan dikelolanya
batik Sumberjambe tersebut, maka akan menciptakan lapangan pekerjaan yang
menjajikan tidak hanya bagi masayarakat Kecamatan Sumberjambe namun juga bagi
seluruh masayarakat Jember. Selain menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar,
“Batik Tobaco” Sumberjambe ini menyimpan potesi kekayaan budaya yang juga
sangat besar. Jember yang dikenal sebagai daerah berkembang yang kekayaan
budayanya masih belum tereksploitasi dapat menjadikan “Batik Tobaco” Kecamatan Sumberjamber menjadi icon Kabupaten
Jember. Terlebih apabila “Batik Tobacao” Kecamatan Sumberjambe mampu bersaing
dengan batik-batik lain baik di luar maupun di dalam negeri sehingga keindahan
dari batik ini mampu dinikmati masyarakat diseluruh dunia sebgai salah satu
kekayaan budaya Indonesia.
Keindahan dari Batik Tobaco Kecamatan
Sumberjambe ini tidak dapat dipertanyakan lagi, corak tembakau yang menjadi
andalannya membuat batik ini berbeda dengan batik dari batik daerah lain.
Sehingga sangat kental sekali dengan keadaan alam Jember yang terkenal dengan
tanaman tembakaunya.[5] Dengan pembuatan yang masih mempertahaan kan
keaslian dan ketelitian, batik Tobaco sangat menjaga hal terebut. Sebuah
kekayaan budaya Indoesia yang mengagumkan, dengan perpaduan kekayaan alam
dengan kekreatifan anak bangsa sehingga menhasilkan suatu karya yang sangat
indah. Hal tersebut yang seharusnya dadari betul oleh seluruh masyarakat
Jember, sehingga suatu kekayaaan budaya terse
3.2 Potensi
Perekonomian Masyarakat Melalui Usaha Batik Sumberjambe Kabupaten Jember
Batik di setiap daerah memiliki kekhasan yang mewakili daerah masing-masing pembatik. Kekhasan ini dipengaruhi oleh
lingkungan. Karakter
masyarakat setempatpun juga memiliki pengaruh besar pada hasil akhir dari batik. Secara garis besar
karakteristik Batik Sumberjambe dapat dilihat dari motifnya.
Sejauh ini pengrajin batik di Kecamatan Sumberjambe berusaha
mempertahankan motif daun tembakau sebagai motif yang khas Jember, meski
beberapa perajin batik di luar Jember menggunakan motif daun tembakau.
Belum dikenalnya batik Jember dan pangsa pasar yang masih sulit
membuat sejumlah pihak khawatir akan perkembangan batik tulis dengan motif
tembakau yang terkesan sederhana dan kurang diminati. Kepala Dinas Koperasi dan
UKM Jember, Mirfano, mengatakan, masyarakat luas belum mengenal batik khas
Jember karena masih banyak warga Jember yang enggan menggunakan batik lokal
buatan perajin batik Sumberjambe, sehingga hal itu yang menjadikan promosi batik dengan motif
tembakau kurang dikenal di tingkat lokal, nasional dan internasional.[6]
Keterbatasan wawasan yang dimiliki perajin batik dan modal usaha
menjadi kendala tersendiri bagi perkembangan batik Jember, sehingga sejumlah
satuan kerja perangkat daerah (SKPD) berusaha untuk mengatasi persoalan
tersebut dan mencoba mencari solusinya. Untuk mempromosikan batik
Jember, pihak SKPD selalu berpartisipasi dalam pameran batik di tingkat lokal dan
nasional untuk mengenalkan batik Jember kepada masyarakat luas. Sementara
anggota DPRD Jember, Ahmad Halim, mengaku bangga terhadap batik Jember yang
memiliki ciri khas tertentu, yakni dengan motif tembakau yang terkesan
sederhana namun eksotik, apabila dikombinasikan dengan beragam motif. Memang benar
banyak warga Jember yang belum menggunakan baju batik lokal, sehingga promosi
hanya dilakukan oleh pihak perajin batik dan kurang maksimal. Ia berharap, pemerintah
bisa memberikan pembinaan khusus kepada para perajin batik, terutama yang telah
banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi pengangguran dan ikut
melestarikan batik tulis Sumberjambe.
3.3 Peran Sistem Ekonomi Kerakyatan dalam
Pengelolaan UMKM Batik Sumberjambe
Kabupaten Jember
Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di Desa
Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember terdapat dua (2) orang
pengrajin batik. Yaitu Bapak Mawardi dan Bapak Maskuri. Kemudian 60% dari
pekerja Bapak Mawardi dan Maskuri mengerjakan
pengecapan atau penulisan batik di rumahnya sendiri dan setelah itu akan
disetorkan ke bapak Mawardi untuk menjalani proses selanjutnya. Dari 50 orang
pekerja Bapak Mawardi mempunyai keahlian membatik karena dari keluarga
terdahulunya (secara turun-temurun). Ketika peneliti melakukan wawancara kepada
salah satu pekerja yang ada di rumah Bapak Mawardi, Ibu Imamah, apakah beliau
dan para pekerja lainnya tidak ingin memiliki home industri sendiri ternyata
mereka sebenarnya menginginkan hal itu. Akan tetapi karena untuk mempunyai home
industri sendiri membutuhkan modal yang besar, sebab sebagian alat-alatnya
masih harus mengambil dari Solo, Jawa Tengah beliau mengurungkan niatnya. Dan
para pekerja Bapak Mawardi harus menerima pendapatan yang hanya cukup untuk
makan saja, sebab untuk menulis batik 2 meter kain hanya mendapatkan upah Rp.
13.000,00 dan padahal itu membutuhkan waktu 2 hari.
Hal demikian ini tentunya tercermin bahwa kemakmuran
belum dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe. Untuk itu sangat penting kiranya
apabila kita mulai mengacu kembali pada sistem ekonomi kerakyatan yang ada di
Indonesia. Dimana sistem ekonomi ini menjadikan Koperasi sebagai sokoguru
perekonomian. Sebab dilihat dari pasal 33 UUD 1945, keikutsertaan anggota
masyarakat dalam memiliki faktor-faktor produksi itulah antara lain yang
menyebabkan dinyatakannya koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan
sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana diketahui, perbedaan koperasi dari
perusahaan perseroan terletak pada diterapkannya prinsip keterbukaan bagi semua
pihak yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh
koperasi untuk turut menjadi anggota koperasi. Pola hubungan produksi
kemitraan, bukan buruh-majikan. Pada koperasi memang terdapat perbedaan mendasar
yang membedakannya secara diametral dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Di
antaranya adalah pada dihilangkannya pemilahan buruh-majikan, yaitu
diikutsertakannya buruh sebagai pemilik perusahaan atau anggota koperasi.
Dengan adanya koperasi di Desa Sumberpakem diharapkan
akan dapat membantu para pengrajin batik ini. Namun, dengan catatan koperasi
ini dapat memberikan pinjaman dengan bunga lunak, dapat membantu pengrajin
menjual batiknya, membantu memberikan jaringan
penjualan, serta menyediakan peralatan untuk membuat batik karena selama
ini mereka mendapatkannya harus dengan membelinya langsung ke Solo sehingga
hargapun juga akan meningkat. Dimana tidak seperti koperasi yang sebelumnya
sudah ada dan sekarang sudah vakum, koperasi ini dulunya malah menghancurkan
harga dan tidak membantu para pengrajin. Sehingga semua pengrajin batik memilih
untuk mengelola sendiri industri batiknya atau home industri. Keadaan ini
menyebabkan para pengrajin batik, semakin hari semakin menurun jumlahnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian yang peneliti
lakukakan di Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember adalah:
4.1.1
Batik Sumberjambe mempunyai kekhasan tersendiri,
yaitu pola atau coraknya lebih kembali ke alam Kabupaten Jember. Sebab polanya
menggunakan daun tembakau, pohon tembakau, kakao, durian, dan lain sebagainya.
Sehingga batik Sumberjambe memang pantas bersaing dengan batik dari lain
daerah.
4.1.2
Sebenarnya potensi perekonomian masyarakat
pengrajin batik Sumberjambe sangat bagus, akan tetapi penngelolaannya belum
maksimal baik dari masyarakat sendiri dan pemerintah.
4.1.3
Peran sistem ekonomi kerakyatan melalui koperasi
memang diperlukan pengrajin batik, untuk meningkatkan pendapatan dan kemakmuran
masyarakat sendiri.
4.2 Saran
Pengembangan usaha ini sangat
potensial dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan. Masyarakat daerah setempat
memiliki sumber kekuatan untuk membangun ekonominya sendiri, sehingga mampu
menghasilkan sumber pendapatan bagi penduduk setempat tanpa harus menggantungkan
diri pada para pemilik modal yang notabene berasal dari luar daerah setempat.
Namun, sebagai aset lokal yang
potensial, batik Sumberjambe ini belum dikenal secara luas. Di samping itu,
pemerintah daerah juga belum memiliki wacana untuk mempatenkan hasil karya
tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya usaha untuk mewujudkan “kampung batik
Sumberjambe” sebagai bentuk UMKM guna mempromosikan batik Sumberjambe secara
serentak oleh penduduk setempat, serta mengusahakan pelindungan melalui hukum
dan undang-undang terhadap hasil karya tersebut. Sehingga industri batik
Sumberjambe ini dapat menjadi suatu aplikasi strategis dalam mewujudkan ekonomi
kerakyatan, khususnya di Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember.
[1]
Drs.
Revrisond Baswir, MBA. 2008.Ekonomi
Kerakyatan: Amanat Konstitusi Untuk Mewujudkan Demokrasi Ekonomi di Indonesia.
makalah
[2]Lihat di http://angelicatika.wordpress.com/2010/09/07/kontribusi-ukm-di-indonesia/
[5]Lihat
foto pada lampiran
[6]Diakses
dari http://tribunindonesia.wordpress.com/2009/10/21/batik-khas-jember-terinspiasi-corak-daun-tembakau/
Diusulkan
Oleh:
1.
Alrisa Ayu Candra Sari NIM 090910201017
2.
Nuraida Muji Kurnia E. P. NIM 100910201068
3.
Imam Sunarto NIM
100910302020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar