Kamis, 15 November 2012

APLIKASI KONSEP EKONOMI KERAKYATAN DALAM PENGELOLAAN UMKM BATIK SUMBERJAMBE KABUPATEN JEMBER


APLIKASI KONSEP EKONOMI KERAKYATAN DALAM PENGELOLAAN UMKM BATIK SUMBERJAMBE KABUPATEN JEMBER

 BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ekonomi kerakyatan menjadi wacana yang cukup fenomenal saat ini di tengah maraknya isu pelaksanaan neoliberal dalam perekonomian Indonesia. Walaupun sebenarnya perbincangan mengenai pelaksanaan ekonomi kerakyatan telah muncul jauh sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Masa kolonialisme yang mengakibatkan penderitaan rakyat menjadi latar belakang munculnya ide ekonomi kerakyatan. Hal ini didasarkan pada tulisan-tulisan yang muncul pada masa itu sebagai kritik terhadap struktur perekonomian yang bercorak kolonial, dimana sistem tersebut hanya berdampak pada kemerosotan perekonomian Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Drs. Revrisond Baswir, MBA bahwa Bung Hatta dalam artikelnya yang berjudul Ekonomi Rakyat di harian Daulat Rakyat (Hatta, 1954). Dalam artikel yang diterbitkan tanggal 20 Nopember 1933 secara jelas mengungkapkan kegusaran Bung Hatta dalam menyaksikan kemerosotan kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.[1]
Ekonomi kerakyatan sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga diharapkan sistem ekonomi kerakyatan ini mampu membawa angin segar dalam perekonomian Indonesia yang terwujud dalam perbaikan perekonomian rakyat, bukan sekedar usaha untuk menambah pundi-pundi kekayaan para pemilik modal yang tumbuh subur dalam atmosfir neoliberal.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan aplikasi ekonomi kerakyatan yang strategis dan senantiasa mengembangkan kreativitas usaha, sehingga terciptanya terobosan-terobosan baru untuk pengembangan dan peningkatan daya saing dan mampu menyediakan lapangan usaha, penyerapan tenaga kerja, serta pendistribusian hasil-hasil inovasi. Di samping itu, UMKM juga menjadi penyumbang terbesar bagi PDB Indonesia tahun 2009, yaitu sebesar 55,53%.[2] Berdasarkan data dari depkopnas, perkembangan UMKM mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik dari segi unit usaha, tenaga kerja, dan PDB. Berikut ini data yang disajikan oleh depkopnas:

2008
2009
Segi usaha
51.409.612
52.764.603
Tenaga kerja
94.024.278
96.211.332
PDB atas dasar harga berlaku
2.613.226 (milliar)
2.993.151 (milliar)
PDB atas dasar harga konstan 2000
1.165.753 (milliar)
1.214.725 (milliar)

Saat ini, batik menjadi komoditi yang cukup menjanjikan untuk dikelola dalam bentuk UMKM. Apalagi dunia melalui UNESCO sudah mengakui batik Indonesia sebagai budaya tak-benda, sehingga pengakuan tersebut membuat bangga masyarakat Indonesia yang sudah turun-temurun membuat batik. Pengakuan tersebut akhirnya membuat banyak daerah memunculkan corak batiknya. Bila batik Pekalongan, Solo, Yogya dan Madura sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia dan dunia, namun belum untuk daerah lain.
Kabupaten Jember sebagai daerah penghasil tembakau mencoba untuk membuat inovasi berupa batik lokal dengan motif tembakau sebagai motif khasnya. Batik lokal ini dikenal dengan nama batik Sumberjambe. Menurut Subaidi, Kepala Bidang Industri, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, saat ini, ada tiga kelompok industri rumah tangga yang mengembangkan usaha batik Sumberjambe. Mereka memiliki puluhan buruh pembatik yang berasal dari warga desa setempat.[3] Pengembangan usaha ini memerlukan suatu konsep dan prinsip-prinsip yang tepat dalam pengelolannya. Dalam hal ini, ekonomi kerakyatan menjadi konsep yang strategis dalam pengelolaan UMKM sebagai pemain utama dalam perekonomian Indonesia.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terhadap aplikasi konsep ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan UMKM Batik Sumberjambe Kabupaten Jember sebagai salah satu potensi lokal yang dapat menyokong perekonomian rakyat.

1.1    Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian bahwa sistem perekonomian Indonesia saat ini menggunakan prinsip ekonomi kerakyatan  yang diaplikasikan dalam pengelolaan UMKM. Dimana dengan penerapan prinsip ekonomi kerakyatan tersebut diharapkan UMKM mampu meningkatkan dan meratakan pendapatan penduduk daerah setempat, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: “Bagaimana aplikasi ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan UMKM Batik Sumberjambe Kabupaten Jember?”
  

1.2    Tujuan Penelitian
1.2.1   Untuk memperkenalkan Batik Sumberjambe sebagai potensi lokal Kabupaten Jember di kancah nasional
1.2.2   Untuk mengetahui potensi Batik Sumberjambe dalam meningkatkan perekonomian masyarakat Kabupaten Jember.
1.2.3   Untuk mengetahui peran ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan UMKM Batik Sumberjambe Kabupaten Jember.

1.3    Manfaat Penelitian
1.3.1   Masyarakat luas mengetahui keberadaan  Batik Sumberjambe sebagai potensi lokal Kabupaten Jember
1.3.2   Masyarakat sadar akan peluang atau potensi Batik Sumberjambe dalam meningkatkan perekonomian masyarakat
1.3.3   Dapat mengetahui peran ekonomi kerakyatan di dalam pengelolaan UMKM Batik Sumberjambe Kabupaten Jember

 
 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Ekonomi Kerakyatan

Landasan konstitusional mengenai konsep ekonomi kerakyatan terdapat pada pasal 33 UUD 1945, yang berisi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4) perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut, ungkapan ekonomi kerakyatan memang tidak ditemukan secara eksplisit. Ungkapan konsepsional yang tercantum dalam penjelasan Pasal 33 itu adalah mengenai ‘demokrasi ekonomi’. Walaupun demikian, mengacu pada definisi kata ‘kerakayatan’ sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta (Hatta, 1932), serta penggunaan kata kerakyatan pada sila keempat Pancasila, tidak terlalu sulit untuk disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan sesungguhnya tidak lain dari demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 itu. Artinya, ekonomi kerakyatan hanyalah ungkapan lain dari ungkapan demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut (Baswir, 1995).
Baswir (2008) menjelaskan bahwa dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Drs. Revrisond Baswir, MBA juga menguraikan bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu, dapat disaksikan bahwa substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut: (1) Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional; (2) Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional; (3) Kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.

2.2  Tinjauan Mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Menurut UU No. 29 Tahun 2008, usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorang dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kriteria usaha mikro sebagaimana diatir dalam UU No. 29 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
a.         Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b.        Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)
Ciri-ciri usaha mikro antara lain:
1.        Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;
2.        Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat;
3.        Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;
4.        Sumberdaya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai;
5.        Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;
6.        Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses kepada lembaga keuangan non bank;
7.        Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP.


Menurut undang-undang No.20 Tahun 2008 usaha kecil adalah usaha ekonomi  produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang-perorangan atau badan usaha yang bukan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang undang ini. Kriteria usaha kecil menurut UU No 20 tahun 2008 adalah sebagai berikut:
a.         Memiliki kekayaan bersih lebih banyak, dari 50.000.000 sampai dengan paling banyak 500.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
b.        Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300.000.000 sampai dengan paling banyak 2.500.000.0000.
Ciri-ciri usaha kecil antara lain:
1.             Jenis barang/komoditi usahanya sudah tetap, tidak gampang berubah-ubah;
2.             Tempat usahanya sudah menetap
3.             sudah melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha, sudah membuat neraca;
4.             Sumberdaya manusianya (pengusahanya) sudah cukup berpengalaman dalam berwirausaha;
5.             Sebagian sudah akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses kepada lembaga keuangan non bank;
6.             Sebagian besar belum bisa membuat manajemen usaha yang baik, seperti bussiness plan.
Sesuai dengan UU No 20 tahun 2008 usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang bekerja sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsungd engan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Kriteria usaha menengah menurut UU No. 20 Tahun 2008 yaitu:
a.         Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b.        Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi. Selain menjadi sektor usaha yang paling besar kontribusinya terhadap pembangunan nasional, UMKM juga menciptakan peluang kerja yang cukup besar bagi tenaga kerja dalam negeri, sehingga sangat membantu upaya mengurangi pengangguran.[4]



Berdasarkan data Bapkopnas tahun 2009, perkembangan UMKM di Indonesia mengalami peningkatan jika diukur melalui 4 indikator berikut ini:




2.3 Batik Sumberjambe Kabupaten Jember
Jember merupakan salah satu kabupaten yang dikenal sebagai produsen tembakau, sehingga tidak heran para perajin batik di kabupaten ini berusaha mempertahankan motif tembakau sebagai motif batik khas Jember. Sekilas, “batik sumberjambe” terlihat hampir sama dengan batik di daerah lainnya yang kaya dengan motif dan penuh dengan sentuhan seni para pembatiknya. Akan tetapi ternyata Batik Sumberjambe mempunyai ciri khas motif batik berupa daun tembakau. Motif daun tembakau ini dari ukuran kecil sampai dengan ukuran besar. Harga batik Jember juga terjangkau, batik cap dengan bahan kain katun dijual sebesar Rp65 ribu-Rp80 ribu per-potong, batik tulis yang menggunakan bahan kain katun dijual dengan Rp85 ribu-Rp150 ribu perpotong. Untuk batik dari bahan kain sutera dijual dengan harga Rp300 ribu perpotong, apabila menggunakan batik cap harganya sekitar Rp125 ribu per-potong. Harga ini lebih murah dibandingkan sejumlah harga kain batik di beberapa daerah. banyak warga Jember dan luar Jember yang memesan batik dengan motif daun tembakau karena sudah menjadi ciri khas Kabupaten Jember, yang dikenal sebagai kota tembakau.  hampir sebagian besar warga Jember dan luar Jember memilih motif tembakau yang dikombinasikan dengan motif bunga, parang dan tumbuhan yang dibuat semenarik mungkin, sehingga kombinasi coraknya serasi. Sejauh ini, kata dia, perajin batik di Kecamatan Sumberjambe berusaha mempertahankan motif daun tembakau sebagai motif yang khas Jember, meski beberapa perajin batik di luar Jember menggunakan motif daun tembakau. 


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian berkaitan dengan pendekatan serta metode penelitian yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah tersebut.

3.1.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif menggunakan pendekatan kualitatif (naturalistik). Pendekatan kualitatif berkaitan dengan penelitian langsung di lapangan. Yang mana dengan pendekatan ini akan mempermudah pengambilan data, sebab data merupakan deskripsi dalam waktu dan situasi tertentu.

3.1.2 Metode Penelitian                                                                        
Adapun metode dari penelitian ini ialah metode deskriptif. Yang mana mendeskripsikan peristiwa atau kejadian yang terjadi saat ini.Selain itu peneliti juga berupaya memotret kejadian yang sedang terjadi di sekitarnya.

3.2 Setting Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember. Peneliti memilih Desa Sumberpakem  karena tempat ini merupakan sentra batik khas Kabupaten Jember, sekaligus Desa Sumberpakem merupakan tempat tinggal dari pencetus batik motif daun tembakau ini.

3.2.2 Waktu Penelitian
Tabel 1. Waktu Penelitian
No.
Waktu Pelaksanaan
Jenis Kegiatan
1.
4-5 September 2011
Pembentukan kelompok, pengumpulan dan pemilihan ide penelitian
2.
6-9 September 2011
Mencari literatur dan wawancara dengan informan
3.
10-13 September 2011
Mengolah data dan pembuatan karya tulis
4.
14 September 2011
Pengiriman karya tulis

3.3 Informan Penelitian
Informan penelitian adalah orang yang menguasai serta memahami objek penelitian dan mampu menjelaskan secara rinci masalah yang diteliti. Dalam hal ini adalah pengrajin Batik dari Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember.

3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data erat kaitannya dengan metode pengumpulan data dan instrumen pengumpulan data. Metode dalam penelitian ini adalah metode wawancara. Dengan metode ini kita dapat memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan dengan mengunakan panduan wawancara.

3.5 Teknik Analisis Data
Marshall dan Rossman mengajukan teknik analisa data kualitatif untuk proses analisis data dalam penelitian ini. Dalam menganalisa penelitian kualitatif  terdapat beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan (Marshall dan Rossman dalam Kabalmay, 2002), diantaranya  :
1.    Mengorganisasikan Data
Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam (indepth inteviwer), dimana data tersebut direkam dengan tape recorder dibantu alat tulis lainya. Kemudian dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah di dapatkan.
2.    Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema dan pola jawaban
Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data, perhatiaan yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan coding. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip wawancara dan melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat.
Pada penelitian ini, analisis dilakukan terhadap sebuah kasus yang diteliti. Peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal diungkapkan oleh responden. Data yang telah dikelompokan tersebut oleh peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata kuncinya. Sehingga peneliti dapat menangkap penagalaman, permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek.
3.    Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada terhadap Data
Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kemabali berdasarkan landasan teori yang telah dijabarkan dalam bab II, sehingga dapat dicocokan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai. Walaupun penelitian ini tidak memiliki hipotesis tertentu, namun dari landasan teori dapat dibuat asumsi-asumsi mengenai hubungan antara konsep-konsep dan factor-faktor yang ada.
4.    Mencari Alternatif Penjelasan bagi Data
Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud, peneliti masuk ke dalam tahap penejelasan. Dan berdasarkan kesimpulan yang telah didapat dari kaitanya tersebut, penulis merasa perlu mencari suatau alternative penjelasan lain tetnag kesimpulan yang telah didapat. Sebab dalam penelitian kualitatif memang selalu ada alternative penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada kemungkinan terdpat hal-hal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir sebelumnya. Pada tahap ini akan dijelaskan dengan alternative lain melalui referensi atau teori-teori lain. Alternatif ini akan sangat berguna pada bagian pembahasan, kesimpulan dan saran.
5.    Menulis Hasil Penelitian
Penulisan data subjek yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu hal yang membantu penulis unntuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakaiadalah presentase data yang didapat yaitu, penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan subjek dan significant other. Proses dimulai dari data-data yang diperoleh dari subjek dan significant other, dibaca berulang kali sehinggga penulis mengerti benar permasalahanya, kemudian dianalisis, sehingga didapat gambaran mengenai penghayatan pengalaman dari subjek. Selanjutnya dilakukan interprestasi secara keseluruhan, dimana di dalamnya mencangkup keseluruhan kesimpulan dari hasil penelitian.








BAB IV
PEMBAHASAN

3.1 Batik Sumberjambe sebagai Potensi Lokal Kabupaten Jember
Batik adalah salah satu jenis kain yang memiliki corak khas yang merupakan  kekayaan budaya Indonesia. Disetiap daerah di Indonesia memiliki pola kain batiik yang berbeda-beda, corak  kain tersebut terkadang disesuaikan dengan ciri khas dari masing-masing daerah. Jember adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki batik dengan corak atau pola yang sangat khas. Terinspirasi dari kesuburan alam jember yang menyimpan kekayaan alam yang begitu besar, menjadikan corak-corak batik jember lebih mengarah ke pola alam. Misalnya saja, pola daun tembakau, bunga tembakau, pola bunga-bunga ada juga pola pepohonan.
Sebagai salah satu ciri khas dari Kabupaten Jember, batik Sumberjambe yang dikenal dengan sebutan “Batik Tobaco” ini oleh sebagaian masyarakat Jember yang peduli akan kebudayaan daerah menyimpan potensi yang sangat besar untuk kemajuan Kabupaten Jember. Pengelolaan yang baik, tidak menutup kemungkinan akan meningkatkan perekonomian masayarakat Sumberjambe kususnya dan meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Jember pada umumnya. Karena dengan dikelolanya batik Sumberjambe tersebut, maka akan menciptakan lapangan pekerjaan yang menjajikan tidak hanya bagi masayarakat Kecamatan Sumberjambe namun juga bagi seluruh masayarakat Jember. Selain menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar, “Batik Tobaco” Sumberjambe ini menyimpan potesi kekayaan budaya yang juga sangat besar. Jember yang dikenal sebagai daerah berkembang yang kekayaan budayanya masih belum tereksploitasi dapat menjadikan “Batik Tobaco”  Kecamatan Sumberjamber menjadi icon Kabupaten Jember. Terlebih apabila “Batik Tobacao” Kecamatan Sumberjambe mampu bersaing dengan batik-batik lain baik di luar maupun di dalam negeri sehingga keindahan dari batik ini mampu dinikmati masyarakat diseluruh dunia sebgai salah satu kekayaan budaya Indonesia.
     Keindahan dari Batik Tobaco Kecamatan Sumberjambe ini tidak dapat dipertanyakan lagi, corak tembakau yang menjadi andalannya membuat batik ini berbeda dengan batik dari batik daerah lain. Sehingga sangat kental sekali dengan keadaan alam Jember yang terkenal dengan tanaman tembakaunya.[5]  Dengan pembuatan yang masih mempertahaan kan keaslian dan ketelitian, batik Tobaco sangat menjaga hal terebut. Sebuah kekayaan budaya Indoesia yang mengagumkan, dengan perpaduan kekayaan alam dengan kekreatifan anak bangsa sehingga menhasilkan suatu karya yang sangat indah. Hal tersebut yang seharusnya dadari betul oleh seluruh masyarakat Jember, sehingga suatu kekayaaan budaya terse

3.2 Potensi Perekonomian Masyarakat Melalui Usaha Batik Sumberjambe Kabupaten Jember
Batik di setiap daerah memiliki kekhasan yang mewakili daerah masing-masing pembatik. Kekhasan ini dipengaruhi oleh lingkungan. Karakter masyarakat setempatpun juga memiliki pengaruh besar pada hasil akhir dari batik. Secara garis besar karakteristik Batik Sumberjambe dapat dilihat dari motifnya. Sejauh ini pengrajin batik di Kecamatan Sumberjambe berusaha mempertahankan motif daun tembakau sebagai motif yang khas Jember, meski beberapa perajin batik di luar Jember menggunakan motif daun tembakau.
Belum dikenalnya batik Jember dan pangsa pasar yang masih sulit membuat sejumlah pihak khawatir akan perkembangan batik tulis dengan motif tembakau yang terkesan sederhana dan kurang diminati. Kepala Dinas Koperasi dan UKM Jember, Mirfano, mengatakan, masyarakat luas belum mengenal batik khas Jember karena masih banyak warga Jember yang enggan menggunakan batik lokal buatan perajin batik Sumberjambe, sehingga hal itu yang menjadikan promosi batik dengan motif tembakau kurang dikenal di tingkat lokal, nasional dan internasional.[6]
Keterbatasan wawasan yang dimiliki perajin batik dan modal usaha menjadi kendala tersendiri bagi perkembangan batik Jember, sehingga sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) berusaha untuk mengatasi persoalan tersebut dan mencoba mencari solusinya. Untuk mempromosikan batik Jember, pihak SKPD selalu berpartisipasi dalam pameran batik di tingkat lokal dan nasional untuk mengenalkan batik Jember kepada masyarakat luas. Sementara anggota DPRD Jember, Ahmad Halim, mengaku bangga terhadap batik Jember yang memiliki ciri khas tertentu, yakni dengan motif tembakau yang terkesan sederhana namun eksotik, apabila dikombinasikan dengan beragam motif. Memang benar banyak warga Jember yang belum menggunakan baju batik lokal, sehingga promosi hanya dilakukan oleh pihak perajin batik dan kurang maksimal. Ia berharap, pemerintah bisa memberikan pembinaan khusus kepada para perajin batik, terutama yang telah banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi pengangguran dan ikut melestarikan batik tulis Sumberjambe.

3.3 Peran Sistem Ekonomi Kerakyatan dalam Pengelolaan UMKM Batik   Sumberjambe Kabupaten Jember
Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember terdapat dua (2) orang pengrajin batik. Yaitu Bapak Mawardi dan Bapak Maskuri. Kemudian 60% dari pekerja  Bapak Mawardi dan Maskuri mengerjakan pengecapan atau penulisan batik di rumahnya sendiri dan setelah itu akan disetorkan ke bapak Mawardi untuk menjalani proses selanjutnya. Dari 50 orang pekerja Bapak Mawardi mempunyai keahlian membatik karena dari keluarga terdahulunya (secara turun-temurun). Ketika peneliti melakukan wawancara kepada salah satu pekerja yang ada di rumah Bapak Mawardi, Ibu Imamah, apakah beliau dan para pekerja lainnya tidak ingin memiliki home industri sendiri ternyata mereka sebenarnya menginginkan hal itu. Akan tetapi karena untuk mempunyai home industri sendiri membutuhkan modal yang besar, sebab sebagian alat-alatnya masih harus mengambil dari Solo, Jawa Tengah beliau mengurungkan niatnya. Dan para pekerja Bapak Mawardi harus menerima pendapatan yang hanya cukup untuk makan saja, sebab untuk menulis batik 2 meter kain hanya mendapatkan upah Rp. 13.000,00 dan padahal itu membutuhkan waktu 2 hari.
Hal demikian ini tentunya tercermin bahwa kemakmuran belum dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di Desa Sumberpakem, Kecamatan  Sumberjambe. Untuk itu sangat penting kiranya apabila kita mulai mengacu kembali pada sistem ekonomi kerakyatan yang ada di Indonesia. Dimana sistem ekonomi ini menjadikan Koperasi sebagai sokoguru perekonomian. Sebab dilihat dari pasal 33 UUD 1945, keikutsertaan anggota masyarakat dalam memiliki faktor-faktor produksi itulah antara lain yang menyebabkan dinyatakannya koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana diketahui, perbedaan koperasi dari perusahaan perseroan terletak pada diterapkannya prinsip keterbukaan bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh koperasi untuk turut menjadi anggota koperasi. Pola hubungan produksi kemitraan, bukan buruh-majikan. Pada koperasi memang terdapat perbedaan mendasar yang membedakannya secara diametral dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Di antaranya adalah pada dihilangkannya pemilahan buruh-majikan, yaitu diikutsertakannya buruh sebagai pemilik perusahaan atau anggota koperasi.
Dengan adanya koperasi di Desa Sumberpakem diharapkan akan dapat membantu para pengrajin batik ini. Namun, dengan catatan koperasi ini dapat memberikan pinjaman dengan bunga lunak, dapat membantu pengrajin menjual batiknya, membantu memberikan jaringan  penjualan, serta menyediakan peralatan untuk membuat batik karena selama ini mereka mendapatkannya harus dengan membelinya langsung ke Solo sehingga hargapun juga akan meningkat. Dimana tidak seperti koperasi yang sebelumnya sudah ada dan sekarang sudah vakum, koperasi ini dulunya malah menghancurkan harga dan tidak membantu para pengrajin. Sehingga semua pengrajin batik memilih untuk mengelola sendiri industri batiknya atau home industri. Keadaan ini menyebabkan para pengrajin batik, semakin hari semakin menurun jumlahnya.


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian yang peneliti lakukakan di Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember adalah:
4.1.1        Batik Sumberjambe mempunyai kekhasan tersendiri, yaitu pola atau coraknya lebih kembali ke alam Kabupaten Jember. Sebab polanya menggunakan daun tembakau, pohon tembakau, kakao, durian, dan lain sebagainya. Sehingga batik Sumberjambe memang pantas bersaing dengan batik dari lain daerah.
4.1.2        Sebenarnya potensi perekonomian masyarakat pengrajin batik Sumberjambe sangat bagus, akan tetapi penngelolaannya belum maksimal baik dari masyarakat sendiri dan pemerintah.
4.1.3        Peran sistem ekonomi kerakyatan melalui koperasi memang diperlukan pengrajin batik, untuk meningkatkan pendapatan dan kemakmuran masyarakat sendiri.

4.2 Saran
Pengembangan usaha ini sangat potensial dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan. Masyarakat daerah setempat memiliki sumber kekuatan untuk membangun ekonominya sendiri, sehingga mampu menghasilkan sumber pendapatan bagi penduduk setempat tanpa harus menggantungkan diri pada para pemilik modal yang notabene berasal dari luar daerah setempat.
Namun, sebagai aset lokal yang potensial, batik Sumberjambe ini belum dikenal secara luas. Di samping itu, pemerintah daerah juga belum memiliki wacana untuk mempatenkan hasil karya tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya usaha untuk mewujudkan “kampung batik Sumberjambe” sebagai bentuk UMKM guna mempromosikan batik Sumberjambe secara serentak oleh penduduk setempat, serta mengusahakan pelindungan melalui hukum dan undang-undang terhadap hasil karya tersebut. Sehingga industri batik Sumberjambe ini dapat menjadi suatu aplikasi strategis dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan, khususnya di Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember.





[1] Drs. Revrisond Baswir, MBA. 2008.Ekonomi Kerakyatan: Amanat Konstitusi Untuk Mewujudkan Demokrasi Ekonomi di Indonesia. makalah

[2]Lihat di  http://angelicatika.wordpress.com/2010/09/07/kontribusi-ukm-di-indonesia/
[4] Sutirman, Pemberdayaan UMKM melalui Komunikasi Bisnis Bebasis Web (Suatu Gagasan)

[5]Lihat foto pada lampiran
[6]Diakses dari http://tribunindonesia.wordpress.com/2009/10/21/batik-khas-jember-terinspiasi-corak-daun-tembakau/


Diusulkan Oleh:
1.    Alrisa Ayu Candra Sari               NIM 090910201017
2.    Nuraida Muji Kurnia E. P.         NIM 100910201068
3.    Imam Sunarto                              NIM 100910302020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"iDesainer" 1 2 3 4