MENGUATNYA
POLITIK IDENTITAS: POTENSI ATAU ANCAMAN BAGI MASA DEPAN KEBHINNEKAAN INDONESIA
Oleh
NURAIDA
MUJI KURNIA EKA PRATIWI
________________________________________________________________
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia
memberikan perhatian yang besar terhadap masalah integrasi. Hal tersebut tidak
dapat dilepaskan dari kondisi keragaman masyarakat yang terjadi di Indonesia.
Bahkan sebagai dampak dari keragamannya tersebut, masyarakat Indonesia disebut
masyarakat “super majemuk”. Sebuah catatan Hildred Geertz memberikan informasi
bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa besar kecil dengan
bahasa dan identitas kultural yang berbeda-beda, sedangkan Skinner menyebutkan
lebih dari 30 suku bangsa besar yang mewarnai kemajemukan masyarakat Indonesia (Nasikun
dalam Yuswadi dan Rahman, 2004: 47). Kemajemukan tersebut memiliki dua
implikasi yang kontradiktif, di satu sisi kemajemukan tersebut menjadi
karakteristik dan daya tarik tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun di sisi
lain, ia menjadi sebuah ancaman bagi integrasi bangsa yang mendorong pada
disintegrasi. Sehingga patut disyukuri jika sampai hari ini, kurang lebih 67
tahun lamanya, bangsa Indonesia masih mampu mempertahankan persatuan NKRI,
walaupun harus ditempuh dengan berbagai perjuangan dan pengorbanan yang tidak
mudah. Karena proklamasi yang yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945
tidak menjamin bangsa Indonesia akan terbebas dari segala bentuk ancaman
terhadap keutuhan bangsa, justru ancaman dengan berbagai modus operandi datang
untuk merongrong persatuan dan kesatuan bangsa, salah satunya dewasa ini kita
temui fenomena politik identitas.
Era
politik kontemporer saat ini menunjukkan sebuah realitas kegamangan yang
dialami bangsa Indonesia terkait menguatnya politik identitas. Agnes Heller
(dalam Abdillah, 2002: 22) mengasumsikan politik identitas sebagai politik yang
memfokuskan pembedaan sebagai kategori utamanya yang menjanjikan kebebasan,
toleransi, dan kebebasan bermain (free play) walaupun memunculkan
pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis. Politik identitas
dapat mencakup rasisme, bio-feminisme,
environmentalism (politik isu lingkungan), dan
perselisihan etnis. Oleh karena itu, bila dilacak dari sejarah Indonesia
politik identitas yang muncul cenderung bermuatan etnisitas, agama dan ideologi
politik. Terkait dengan kondisi bangsa Indonesia yang multikulturalisme, maka
politik identitas dapat menjadi bahan kajian yang menarik untuk ditelaah.
Pola
Operasionalisasi Politik Identitas ini dapat
kita jumpai pada realitas yang terjadi di masyarakat ditunjukkan dengan
banyaknya perbenturan kepentingan dan fenomena ego sektoral, antara lain: Pertama, operasionalisasi politik identitas
dimainkan peranannya secara optimal melalui roda pemerintahan. Hal ini sejalan
dengan bergeseranya pola sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana pemerintah daerah diberi
kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan pengakuan politik dalam pemilihan
kepala daerah oleh konstituen di daerah masing-masing. Politik Identitas ini ditampakkan dengan maraknya isu etnisitas dan gejala
primordialisme yang diusung melalui isu “putra daerah” dalam menduduki jabatan
publik, isu etnis asli dan anti pendatang, dan isu etnis mayoritas dan
minoritas. Kedua, wilayah agama sebagai lahan beroperasinya politik identitas.
Dalam konteks Indonesia politik
identitas itu dilakukan oleh kelompok mainstream, yaitu kelompok agama
mayoritas, dengan niat ”menyingkirkan” kaum minoritas yang dianggapnya
”menyimpang” atau ”menyeleweng”. Bersamaan dengan ini munculnya gerakan-gerakan radikal atau semi radikal yang
“berbaju” Islam di Indonesia. Mereka memiliki partner dan funding di negara
lain, yang juga memiliki gerakan anti-demokrasi, anti-pluralisme, hingga
anti-nasionalisme. Secara ideologis, mereka mendapat inspirasi dan pengaruh
dari gerakan Islamis dan Salafi yang semula berpusat di beberapa negara-negara
Arab, kemudian dengan kecepatan tinggi menyebar ke seluruh dunia[1].
Ketiga adalah wilayah hukum. Ini
merupakan wilayah paduan antara wilayah negara dan agama, karena masing-masing
memiliki aturannya sendiri. Pada sisi ini, politik identitas beroperasi dengan
cara pembagian kekuasaan, di mana identitas kelompok akan memasukkan
kepentingan identitasnya secara partikular. Kemungkinan modus kita akan menjadi
dasar bagi hubungan politik identitas yang dibangun sangatlah besar. Namun
demikian, hal ini tidak akan terjadi seandainya kepentingan dari politik
identitas etnis yang bersifat minoritas tidak terjembatani melalui pengakuan
hak-haknya untuk berpartisipasi di wilayah pembuatan keputusan hukum secara
bersama.
Berdasarkan
pada ketiga pola operasionalisasi tersebut, politik identitas cenderung
mendistorsi wawasan kebangsaan yang secara perlahan dibangun oleh bangsa
Indonesia. Menguatnya gejala politik identitas terutama akhir-akhir ini, lebih
banyak dipengaruhi kepentingan politik praktis. Sehingga dasar kemajukan dalam
ikatan persatuan dan kesatuan sebagai modal dasar tumbuhnya nasionalisme tidak
pernah tuntas dalam proses pendefinisian
tentang identitas ke-Indonesiaan. Dampaknya pada bangsa ini akan selalu muncul
fenomena merebaknya respon-respon kultural di sejumlah daerah dengan persoalan
baru terkait munculnya konflik antar agama, etnisitas, maupun kewarganegaraan. Konflik-konflik yang sama
juga akan terjadi di tengah masyarakat, disebabkan beberapa kelompok masyarakat
lebih mengedepankan identitas sempitnya, akibatnya kohesi sosial pun terganggu.
Dalam kondisi ini, Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara yang mempu menyokong keutuhan bangsa akan semakin
terancam keberadaanya.
Tentu
saja telah menjadi sebuah panggilan jiwa untuk tidak membiarkan hal tersebut
terjadi. Seperti yang dikemukakan Buya Syafii
Maarif bahwa Politik
identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan
negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang
persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur
sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan
tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Sehingga jelas bahwa politik
identitas tidak selalu dipandang sebagai ancaman terhadap keutuhan bangsa,
melainkan ia dapat menjadi sebuah potensi untuk meningkatkan persatuan dan
kesatuan bangsa melalui kemampuan untuk mengaplikasikan semangat Bhineka
Tunggal Ika dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Politik Identitas dan Kebhinekaan
adalah tema yang sangat tepat untuk digumuli dalam realitas kekinian Indonesia.
Tema tersebut dipandang strategis dan penting untuk dijadikan sebagai diskursus
intelektual. Tema itu tidak saja bersentuhan dengan masa depan bangsa
Indonesia, akan tetapi juga menantang pengerahan energi pikir guna mencari dan
menemukan formasi yang tepat dalam menempatkan dan mendialogkan berbagai
perbedaan terutama di antara berbagai identitas bangsa Indonesia dalam posisi
yang setara, demi terpeliharanya keutuhan dan persatuan bangsa.
1.2 Rumusan
Permasalahan
Berdasarkan
pada beberapa analisis fenomena kekinian dan kajian teoritis terkait menguatnya
politik identitas, maka penulis membatasi fokus kajian pada beberapa
rumusan permasalahan, antara lain:
1. Bagaimana
praktik politik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia terkait menguatnya
politik identitas?
2. Bagaimana
implikasi menguatnya politik identitas terhadap eksistensi Bhineka Tunggal Ika
sebagai salah satu pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara?
3. Bagaimana
mengubah ancaman dari menguatnya politik identitas menjadi sebuah peluang untuk
menjamin masa depan Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar penegak
kesatuan bangsa?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan
permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini
yaitu sebagai berikut:
1. Memaparkan
pola operasionalisasi politik identitas dalam beberapa praktik politik di
berbagai daerah.
2.
Menganalisis
implikasi yang ditimbulkan dari menguatnya isu politik identitas terhadap
eksistensi semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
3.
Menganalisis
upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif politik identitas
hingga mampu mengubahnya menjadi peluang untuk mendorong persatuan bangsa.
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan
tujuan yang telah dipaparkan di atas, maka manfaat yang didapatkan dari
penulisan karya tulis ilmiah ini antara lain:
1. Mengetahui
rekam jejak sejarah politik identitas dari negara asalnya hingga sampai di
negara Indonesia.
2.
Mengetahui
dan memahami pola operasionalisasi politik identitas pada beberapa praktik
politik di Indonesia.
3. Mendapatkan
solusi alternatif untuk mempertahankan Bhineka Tunggal Ika dengan meminimalkan
dampak negatif dan mengoptimalkan peluang positif dari fenomena menguatnya
politik identitas.
1.5 Gagasan Kreatif (harus
dominan tentang kebhinekaan)
Pluralisme
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan sebuah keniscayaan, dan kita
berhak memiliki rasa bangga atas keanekaragaman yang membuat bangsa kita kaya
akan budaya. Namun, pluralitas tidak hanya cukup dianggap sebagai sebuah
anugerah yang menciptakan keunikan tersendiri bagi bangsa kita. Karena
pluralitas mengandung implikasi tersendiri yang mampu memicu konflik hingga
berujung pada separatisme. Dalam hal ini,
politik identitas menjadi salah satu implikasi pluralitas tersebut. Beberapa
oknum menggunakan identitas lokalnya (agama, suku, kedaerahan) demi tercapainya
kepentingan politis pribadi maupun golongannya.
Akibatnya,
dalam ranah politis, muncul partai-partai kecil yang mengatasnamakan kesamaan
agama, suku, dan daerah asal. Hal ini merupakan wujud dari keberagaman dan
kebebasan warga dalam berkumpul serta berserikat. Namun, pluralitas tersebut
kadangkala tiba pada titik ekstrimnya yaitu konflik antar suku, agama, maupun
etnis. Ego sektoral untuk mengunggulkan identitas masing-masing akhirnya
menciderai tujuan nasional yang seharusnya mampu diwujudkan bersama.
Permasalahan
tersebut perlu mendapat perhatian serius dan solusi mutakhir supaya politik
identitas tidak menjadi konflik laten yang dapat mengubah kebhinekaan Indonesia
menjadi kontraproduktif. Beberapa pemikiran yang ditawrkan penulis sebagai
alternatif solusi untuk menyikapi permasalahan tersebut antara lain:
1.
Pemasyarakatan
pemahaman dan aplikasi wawasan kebangsaan
Pemasyarakatan
wawasan kebangsaan merupakan pemberian pemahaman kepada seluruh warga Negara
Indonesia tentang kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berlandaskan empat
pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bertujuan supaya
membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia dengan menghargai pluralisme
bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diwujudkan melalui media massa
(cetak maupun elektronik), pemberian pendidikan wawasan kebangsaan (lokakarya,
seminar, dan lainnya), dan keteladanan dari pemimpin bangsa.
2.
Penerapan
Demokrasi Konsosiasional
Demokrasi
konsosiasional lebih mengutamakan nilai konsensus untuk menjaga keutuhan bangsa
yang plural. Bagi bangsa dan negara yang sedang membangun, pluralitas sosial
dan keragaman budaya yang tinggi dapat menjadi ancaman dan tantangan yang
sangat serius untuk tetap menjaga integrasi bangsa. Model demokrasi ini
mengutamakan pemberian ruang terhadap keanekaragaman kehidupan sosial, budaya,
dan unit politik lokal.
3.
Mengedepankan
Etika Identitas
Kebebasan
individu dalam mengaktualisasikan identitasnya dalam setiap gerakan dibatasi
oleh etika untuk menghindari terjadinya gesekan-gesekan antar indentitas yang
sangat majemuk. Kebebasan yang beretika dilakukan dengan memperhatikan dan
menghargai agensi etis setiap individu yang mengacu pada nilai-nilai etis.
Agensi etis memiliki dua kapasitas, yaitu kapasitas untuk hidup secara otonom
dengan menjunjung pilihan hidup masing-masing, dan kapasitas untuk
berkontribusi pada keadilan.
1.6 Kemutakhiran Substansi yang
akan dibahas
Fenomena
politik identitas bukan menjadi sebuah isu kontemporer, namun merupakan sebuah
fenomena klasik yang masih menarik untuk dibahas sebagai isu kekinian. Karena
realitas menunjukkan bahwa gejala politik identitas semakin menguat, terutama
dalam setiap pesta demokrasi rakyat. Konflik terkait politik identitas pun
belum mendapatkan solusi relevan dan mutakhir, terbukti dari beberapa
permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Oleh karena itu, penulis
mencoba mengangkat topik terkait politik identitas sekaligus menawarkan
beberapa solusi yang diharapkan mampu membawa angin segar bagi fenomena
involusi politik identitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Politik Identitas
Politik
identitas mendapat tempat yang istimewa beberapa tahun terakhir. Walaupun jauh
sebelum era millenium, L. A. Kauffman telah melacak asal-muasalnya pada gerakan
mahasiswa anti-kekerasan yang dikenal dengan SNCC (The Student Nonviolent Coordinating Committee), sebuah organisasi
gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat di awal 1960-an[2],
sehingga dia dapat menemukan hakikat dari politik identitas. Di samping itu,
untuk memperdalam studi tentang politik identitas, seperti Ania Loomba, Homi K.
Bhabha dan Gayatri C Spivak adalah nama-nama yang patut masuk dalam daftar
referensi. Mereka dirujuk karena sumbangsihnya dalam meletakkan politik
identitas sebagai ciptaan dalam wacana sejarah dan budaya. Sementara dalam
literatur ilmu politik, politik identitas dibedakan secara tajam antara
identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political
of identity).[3] Political
identity merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di
dalam ikatan suatu komunitas politik sedangkan political of identity
mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas
politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik.
Pemaknaan
bahwa politik identitas sebagai sumber dan sarana politik dalam pertarungan
perebutan kekuasaan politik sangat dimungkinkan dan kian mengemuka dalam praktek
politik kekinian. Karena itu para ilmuwan yang bergelut dalam wacana politik
identitas berusaha sekuat mungkin untuk mencoba menafsirkan kembali dalam
logika yang sangat sederhana dan lebih operasional. Misalnya saja Agnes Heller
mendefinisikan politik identitas sebagai politik yang memfokuskan pada
pembedaan sebagai kategori utamanya yang menjanjikan kebebasan, toleransi, dan
kebebasan bermain (free play), walaupun memunculkan pola-pola
intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis. Politik identitas dapat mencakup
rasisme, bio-feminisme, environmentalism (politik isu
lingkungan), dan perselisihan etnis.[4].
Sedangkan Donald L Morowitz (1998), pakar politik dari Univeritas Duke,
mendefinisikan politik identitas merupakan pemberian garis yang tegas untuk
menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena
garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai
anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen.[5]
Baik Agnes Heller maupun Donald L Morowitz memperlihatkan sebuah benang merah
yang sama yakni politik identitas dimaknai sebagai politik berbedaan.
Konsep
ini juga mewarnai hasil Simposium Asosiasi Politik Internasional di
selenggarakan di Wina pada 1994. Kesan yang lain dari pertemuan Wina adalah
lahirnya dasar-dasar praktik politik identitas. Sementara Kemala Chandakirana
(1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan
bahwa:
“Politik
identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan
sebutan kami bagi ‘orang asli’ yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi
‘orang pendatang’ yang harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik
identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi—alat untuk menggalang
politik—guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.
Pemaknaan
politik identitas antara Kemala dengan Agnes Heller dan Donald L Morowitz
sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh dalam melihat politik identitas
yang terjadi pada tataran praktis. Yang biasanya digunakan sebagai alat memanipulasi—alat
untuk menggalang politik guna kepentingan ekonomi dan politik. Namun, pada
bagian yang lain, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran dengan
mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat
peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi
sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik. Pemahaman ini berimplikasi pada
kecenderungan untuk: Pertama, ingin mendapat pengakuan dan perlakuan
yang setara atau dasar hak-hak sebagai manusia baik politik, ekonomi maupun
sosial-budaya. Kedua, demi menjaga dan melestarikan nilai budaya yang
menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan. Terakhir, kesetiaan yang
kuat terhadap etnistas yang dimilikinya.
Selain
tiga kecenderungan di atas Klaus Von Beyme (dalam Ubaid Abdillah, 2002)
menyebutkan ada tiga karakteristik yang melekat pada politik identitas, yakni;
1) Gerakan politik identitas pada dasarnya membangun kembali “narasi besar”
yang prinsipnya mereka tolak dan membangun suatu teori yang mengendalikan
faktor-faktor biologis sebagai penyusun perbedaan–perbedaan mendasar sebagai
realitas kehidupannya; 2) Dalam gerakan politik identitas ada suatu tendensi
untuk membangun sistem apartheid terbalik. Ketika kekuasaan tidak dapat
ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak tercapai sebagai tujuan gerakan,
pemisahan dan pengecualian diri diambil sebagai jalan keluar; 3) Kelemahan dari
gerakan politik identitas adalah upaya untuk menciptakan kelompok teori
spesifik dari ilmu. Dari tiga kriteria tersebut, selanjutnya Von Beyme (dalam
Ubed Ubdillah,2002) membuat analisis lanjutan dengan melihat politik identitas
melalui pola gerakan, motivasi dan tujuan yang ingin dicapai. Hasil dari
analisis Von Beyme digambarkan melalui tabel berikut:
Tabel1. Model Politik Identitas
Model
|
Pola Keterangan
|
Pola aksi
|
Tujuan gerakan
|
Pra Modern
|
Perpecahan
objektif (dimana ada perpecahan fundamental pasti ada gerakan sosial yang
menyeluruh)
|
Mobilisasi
secara ideologis atas aspirasi pemimpin
|
Perampasan
kekuasaan
|
Modern
|
Pendekatan
kondisional (keterpecahan membutuhkan sumber-sumber untuk dimobilisasi)
|
Keseimbangan
mobilisasi dari atas dan partisipasi dari bawah
|
Pembagian
kekuasaan
|
Postmodern
|
Gerakan
dari dinamikanya sendiri. Protes muncul dari berbagai macam kesempatan
individual. Tidak terdapat suatu perpecahan yang dominan
|
Kesadaran
diri
|
Otonomi
|
Sumber: Ubed Abdillah,
2002:147
Apabila wacana
politik identitas di atas dikaitkan dengan realitas politik kontemporer di Indonesia, maka Budiman
Sudjatmiko[6]
mengungkapkan bahwa kehadiran politik identitas adalah antitesis dari kekuatan
politik yang sentralistis dan hegemonik selama Orde Baru berkuasa. Kemunculan
politik identitas secara massif direpresentasikan dengan munculnya beberapa
kekuatan politik yang mengusung simbol dan ideologi Islam. Realitas objektif
tersebut tidak terlepas dari memori kolektif massa yang dekat dengan Islam,
karena beberapa tendensi politik identitas lain menjadi tabu bahkan
“diharamkan” untuk direvitalisasi.
2.2 Empat Pilar Kebangsaan
Dalam
berbagai wacana selalu terungkap bahwa telah menjadi kesepakatan bangsa adanya
empat pilar penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara bagi negara-bangsa
Indonesia. Bahkan beberapa partai politik dan organisasi kemasyarakatan telah
bersepakat dan bertekad untuk berpegang teguh serta mempertahankan empat pilar
kehidupan bangsa tersebut. Empat pilar dimaksud dimanfaatkan sebagai landasan
perjuangan dalam menyusun program kerja dan dalam melaksanakan kegiatannya. Hal
ini diungkapkan lagi oleh Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, pada
kesempatan berbuka puasa dengan para pejuang kemerdekaan pada tanggal 13
Agustus 2010 di istana Negara.
Empat
pilar tersebut adalah (1) Pancasila,
(2)
Undang-Undang Dasar 1945, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
(4) Bhinneka Tunggal
Ika. Meskipun hal ini telah menjadi kesepakatan bersama, atau
tepatnya sebagian besar rakyat Indonesia, masih ada yang beranggapan bahwa
empat pilar tersebut adalah sekedar berupa slogan-slogan, sekedar suatu
ungkapan indah, yang kurang atau tidak bermakna dalam menghadapi era
globalisasi. Bahkan ada yang beranggapan bahwa empat pilar tersebut sekedar
sebagai jargon politik. Yang diperlukan adalah landasan riil dan konkrit yang
dapat dimanfaatkan dalam persaingan menghadapi globalisasi.
Untuk
itulah perlu difahami secara memadai makna empat pilar tersebut, sehingga kita
dapat memberikan penilaian secara tepat, arif dan bijaksana terhadap empat
pilar dimaksud, dan dapat menempatkan secara akurat dan proporsional dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berikut disampaikan secara
singkat tentang keempat pilar tersebut.
a.
Pilar
Pancasila
Pancasila
dinilai memenuhi syarat sebagai pilar bagi negara-bangsa Indonesia yang
pluralistik dan cukup luas dan besar ini. Pancasila mampu mengakomodasi
keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Sila
pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang
terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat
Indonesia, merupakan common
denominator dari berbagai agama, sehingga dapat diterima semua
agama dan keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan
beradab, merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Manusia didudukkan
sesuai dengan harkat dan martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara
adil dan beradab. Pancasila menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, namun dalam
implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan Sedang kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk
kesejahteraan perorangan atau golongan. Nampak bahwa Pancasila sangat tepat
sebagai pilar bagi negara-bangsa yang pluralistik.
Pancasila
sebagai salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki
konsep, prinsip dan nilai yang merupakan kristalisasi dari belief system yang
terdapat di seantero wilayah Indonesia, sehingga memberikan jaminan kokoh
kuatnya Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Pilar Undang-Undang Dasar RI
1945
Pilar kedua kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam rangka memahami dan mendalami UUD 1945, diperlukan memahami lebih dahulu
makna undang-undang dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Tanpa memahami
prinsip yang terkandung dalam Pembukaan tersebut tidak mungkin mengadakan
evaluasi terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuhnya dan barbagai
undang-undang yang menjadi derivatnya.
Salah satu bagian yang
penting dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah Pembukaannya, yang
biasa disebut juga dengan istilah Preambule
atau Mukaddimah.
Dalam Pembukaan suatu UUD atau Konstitusi terkandung prinsip atau pandangan
filsafat yang menjadi dasar perumusan pasal-pasal Batang Tubuh Konstitusi, yang
dijadikan pegangan dalam hidup bernegara. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: 1)
sumber kekuasaan, 2) Hak Asasi Manusia, 3) Sistem Demokrasi, 4) Faham
kebersamaan dan kegotongroyongan.
c. Pilar Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945,
di antaranya mengusulkan sebagai dasar negara yang akan segera dibentuk adalah
faham kebangsaan, sebagai landasan berdirinya negara kebangsaan atau nationale
staat. Berikut kutipan beberapa bagian dari pidato tersebut. “Di antara
bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble, adalah
rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 ½ milyun. Rakyat ini merasa
dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan suatu kesatuan, melainkan hanya
satu bagian daripada satu kesatuan. Penduduk Yogya pun adalah merasa le
desir d’etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya sebagian kecil daripada satu
kesatuan. Di Jawa Barat Rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre
ensemble, tetapi Sunda pun satu bagian kecil daripada kesatuan.
Dari kutipan pidato tersebut tidak dapat dijadikan
landasan argumentasi bagi terbentuknya negara kesatuan. Apalagi kalau kita
ikuti lebih lanjut pidato Bung Karno yang justru memberikan gambaran negara
kebangsaan pada negara-negara federal seperti Jermania Raya, India dan
sebagainya. Dengan demikian sila ketiga Pancasila “persatuan Indonesia,” tidak
menjamin terwujudnya negara berbentuk kesatuan, tetapi lebih ke arah landasan bagi
terbentuknya negara kebangsaan atau nation-state.
Untuk mencari landasan bagi Negara kesatuan para founding
fathers lebih mendasarkan diri pada pengalaman sejarah bangsa sejak zaman
penjajahan, waktu perjuangan kemerdekaan sampai persiapan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Penjajah menerapkan pendekatan devide et impera, atau pecah
dan kuasai. Pendekatan tersebut hanya mungkin dapat diatasi oleh persatuan dan
kesatuan. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan melawan penjajah selalu dapat
dipatahkan oleh penjajah dengan memecah dan mengadu domba. Hal ini yang
dipergunakan sebagai alasan dan dasar dalam menentukan bentuk negara kesatuan.
d. Pilar Bhinneka Tunggal Ika
Pada tahun 1951, sekitar 600
tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diungkap oleh mPu
Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi Negara
Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan
Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal
Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik
Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna
ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada
perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan
resmi yang terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD
1945.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
yang mengacu pada bahasa Sanskrit, hampir sama dengan semboyan e Pluribus Unum, semboyan
Bangsa Amerika Serikat yang maknanya diversity
in unity, perbedaan dalam kesatuan. Semboyan tersebut terungkap di
abad ke XVIII, sekitar empat abad setelah mpu Tantular mengemukakan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Sangat mungkin tidak ada hubungannya, namun yang jelas
konsep keanekaragaman dalam kesatuan telah diungkap oleh mPu Tantular lebih
dahulu.
Sejak awal telah begitu
banyak pihak yang berusaha membahas untuk memahami dan memberi makna Pancasila,
serta bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara itu pilar Bhinneka Tunggal Ika masih kurang menarik bagi pihak-pihak
untuk membahas dan memikirkan bagaimana implementasinya, padahal Bhinneka
Tunggal Ika memegang peran yang sangat penting bagi negara-bangsa yang sangat
pluralistik ini. Dengan bertitik tolak dari pemikiran ini, dicoba untuk membahas
makna Bhinneka Tunggal Ika dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dapat
menjadi tiang penyangga yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi
bangsa Indonesia.
2.3 Demokrasi Konsosiasional
Secara teoritis, solusi bagi
negara-negara yang memiliki pluralisme sosial, budaya, dan politik yang tinggi
adalah dengan mengetengahkan konsep alternatif. Sebab, dibanding dengan negara
demokrasi Barat, unsur-unsur primordial sangat kental dalam kehidupan
berdemokrasi di negara-negara yang sedang membangun. Dalam kaitan itu, Afan
Gaffar (1994), dengan mengetengahkan kasus demokrasi di Indonesia menyimpulkan,
bahwa demokrasi prosedural sebagaimana yang berlaku di negara Barat, sulit
untuk diterapkan di Indonesia. Dengan kata lain, pembangunan demokrasi di
negara-negara membangun adalah sebagai demokrasi yang tidak lazim (Uncommon
democracy). Pendapat Gafar merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan
oleh Arent Lipjhart yang berhasil merumuskan konsep alternatif sebagai corak
demokrasi di negara-negara dunia ketiga.
Konsep alternatif ini harus
dilihat sebagai upaya para pakar untuk menjawab pelbagai keterbatasan dan
keunikan sistem politik di negara-negara yang sedang membangun. Konsep Lipjhart
(1996), dapat dikatakan sebagai suatu kombinasi antara unsur
tradisional-primordial dengan nilai demokrasi modern. Konsep ini dibangun atas
realitas masyarakat yang pluralis dan multi-etnik (primordial) dengan
mengaitkan keberadaan institusi demokrasi. Konsep ini kemudian dikenal dengan
istilah Demokrasi Konsosiasional (Consociational Democracy), dengan
pemerintah pusat mengakomodasi aspirasi kelompok-kelompok agama, etnik, dan
linguistik, adanya otonomi budaya setiap kelompok, perimbangan dalam perwakilan
politik dan rekrutmen pegawai pemerintah dan perlindungan kelompok minoritas
(Lipjhart, 1996 :258-268).
Pada umumnya, ciri-ciri
demokrasi yang dikemukakan Lijphart, dipraktikkan oleh beberapa negara di Asia
seperti Malaysia dan Afrika. Dalam istilah lain, demokrasi konsosiasional juga
dinamakan sebagai demokrasi permusyawaratan atau permufakatan yang
lebih mengutamakan nilai konsensus untuk menjaga keutuhan bangsa yang plural.
Bagi bangsa dan negara yang sedang membangun, pluralitas sosial dan keragaman
budaya yang tinggi dapat menjadi ancaman dan tantangan yang sangat serius untuk
tetap menjaga integrasi bangsa. Kebebasan di luar kontrol berkemungkinan akan
menimbulkan banyak bahaya bahkan disintegrasi bangsa. Di sisi lain, tuntutan
demokratisasi juga tidak mungkin dielakkan, dan harus mampu memberikan ruang
terhadap kekayaan keanekaragam kehidupan sosial, budaya, dan unit politik
lokal. Tegasnya, model demokrasi konsosiasional dapat dikembangkan lebih jauh
sebagai bentuk pengakuan terhadap politik lokal dengan masyarakat yang memiliki
ciri-ciri kekhususan seperti Aceh dan Yogyakarta. Fenomena ini mengukuhkan
pendapat, bahwa wujud demokrasi lebih pada makna substansi dibanding dengan
bentuk demokrasi yang pada dasarnya memang tidak mungkin sama. Oleh karena itu,
perbedaan latar belakang sejarah, sosial, budaya, politik dan perubahan global
bentuk atau model demokrasi dalam praktiknya bisa berbeda (Chang Hee, 1996).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka
sebagai cara untuk melakukan analisa sehingga diperoleh hasil yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebuah argumentasi perlu didukung dengan
data dan kajian ilmiah agar bisa dipertangungjawabkan. Untuk itulah maka
penelitian ini menggunakan studi pustaka untuk mendukung argumentasi yang
dibangun.
Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang
berasal dari buku-buku literatur. Menurut Gorys Keraf (1997: 165) metode studi
pustaka adalah metode pengumpulan data yang memanfaatkan buku atau literatur
sebagai bahan referensi untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan atau pendapat
para ahli dengan mendapatkan kesimpulan tersebut sebagai metode sendiri.
3.2 Langkah-Langkah Studi Pustaka
Beberapa langkah yang harus ditempuh oleh seorang
peneliti dalam melakukan penelitian studi pustaka yaitu:
1. Mendaftar semua variable yang perlu diteliti.
2. Mencari setiap variable pada "subject
encyclopedia".
3. Memilih
deskripsi bahan-bahan yang diperlukan dari sumber-sumber yang tersedia.
4. Memeriksa indeks yang memuat variable-variabel dan
topik masalah yang diteliti.
5. Selanjutnya
yang menjadi lebih khusus adalah mencari artikel-artikel, buku-buku, dan
biografi yang sangat membantu untuk mendapatkan bahan-bahan yang relevan dengan
masalah yang diteliti.
6. Setelah informasi yang relevan ditemukan, peneliti
kemudian "mereview" dan menyusun bahan pustaka sesuai dengan urutan
kepentingan dab relevansinya dengan masalah yang sedang diteliti.
7. Bahan-bahan
informasi yang diperoleh kemudian dibaca, dicatat, diatur, dan ditulis kembali.
Untuk keperluan ini biasanya peneliti dapat menggunakan
dua macam kartu, yaitu kartu bibliografi (bibliography card) dan
kartu catatan (content card). Agar dapat dibedakan, kedua kartu tersebut
dapat berbeda wamanya. Kartu bibliografi dibuat untuk mencatat keterangan
tentang judul buku, majalah , surat kabar, dan jurnal. Catatan pada kartu bibliografi berisikan nama pengarang,
judul buku, penerbit, dan tahun penerbitannya. Sedangkan pada kartu
catatan atau content card, peneliti dapat
menulis kutipan (quotation) dari tulisan tertentu, saduran, ringkasan,
tanggapan atau komentar peneliti terhadap apa yang telah dibaca.
8. Dalam langkah terakhir,yaitu proses penulisan
penelitian dari bahan-bahan yang telah terkumpul dijadikan satu dalam sebuah
konsep penelitian.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Praktik
Politik Identitas di Ranah Lokal
Pilihan politik maupun budaya masyarakat untuk menutup
diri merupakan jalan terbaik dalam mengikuti jejak langkah politik kekuasaan
Orde Baru. Oleh karena itu, ketika negara sudah mengalami pelemahan basis
materialnya maka masyarakat akan mencari perlindungan pada kelompok agama
maupun etnistas (Henk, 2007).
Pencarian perlindungan masyarakat kepada etnisitas maupun agama cepat atau
lambat akan membahayakan posisi pemerintah dalam bangunan relasi vertikalnya
tetapi juga rawan, rentan, penuh resiko dan sangat berbahaya dalam relasi
horizontalnya. Ternyata, dugaan ini dapat dibuktikan kebenarannya. Aneka
konflik yang terjadi di ranah lokal, pada 1995-an hingga runtuhnya rezim Orde
Baru membuktikan betapa dahsyatnya kekerasan politik di tanah air.
a. Dominasi Pendatang dalam Birokrasi: Kasus Papua
Fenomena Irian adalah kisah tentang ketidakberdayaan,
dimana terdapat indikasi adanya keterbelakangan penduduk aslinya.
Ketidakberdayaan atau kerbelakangan yang disengaja ataupun tidak, mempunyai
implikasi pada posisi dalam pemerintahan. Bahkan realitas menunjukkan
terjadinya penguasaan birokrasi oleh kaum pendatang. Hal ini dibenarkan
Syamsuddin Haris (1999) dalam Indonesia di Ambang Perpecahan. Dalam
tulisannya, Haris menyatakan bahwa selama Irian bergabung dengan Indonesia
dominasi birokrasi etnis non Irian terjadi baik di Provinsi maupun di
Kabupaten. Implikasinya adalah peranan orang-orang Irian dalam pengambilan
keputusan mengenai mereka sendiri terasa termarginalkan. Pembinaan aparatur
dari pusat maupun daerah dipandang tidak menghasilkan putra daerah Irian.
Bahkan pejabat di Pemerintahan Daerah maupun di Kantor Wilayah Departemen
Teknis di Daerah Provinsi dan Kabupaten ternyata diisi oleh orang-orang non
Irian. Dominasi non-Irian ini pada akhirnya hanya menghasilkan kebijakan,
penyelesaikan masalah politik dan sebagainya yang cenderung mengabaikan
kepentingan rakyat Irian.
Dominasi semacam ini melahirkan dua bentuk kekecewaan.
Pertama, membangkitkan rasa solidaritas yang merupakan perasaan
terintegrasi yang dialami oleh segenap individu sebagai bagian dari suatu
kelompok. Kedua, Kekecewaan itu pada akhinya diekspresikan melalui
sebuah kalimat dari Syamsuddin Haris “dengan keinginan memisahkan diri dari
NKRI”. Bentuk lain yaitu adanya gerakan rakyat pribumi yang menuntut
merdeka dari Indonesia. Implikasinya adalah para penduduk asli mengeksploitasi
kebijakan pemerintah yang tak berkeadilan, lalu mereka mencari legitimasi
historis tentang ketidakabsahan penggabungan Irian dengan bumi Indonesia. Usaha
mempersoalkan legitimasi bisa dibaca sebagai usaha membangun politik kesukuan
dalam kerangka mendapatkan akses dan pembagian sumberdaya baik ekonomi maupun
politik. Sumber daya di bidang politik nampak dengan munculnya usulan bahwa
seluruh struktur dan lembaga politik di Irian Jaya, baik eksekutif maupun
legislatif—80% harus dikuasai oleh orang-orang Papua sehingga perasaan sebagai
bagian dari Indonesia tidak akan pernah hilang dan mereka bisa memainkan peran
yang besar dalam pengambilan keputusan diberbagai bidang. Lebih lanjut
disebutkan bahwa sistem ini berfungsi secara efektif dengan berpartisipasinya
orang-orang Papua untuk menghilangkan pikiran dan perasaan negatif. Ditambahkan
pula dengan munculnya gerakan dari pejabat pemerintah setempat akan pentingnya
“menjadi tuan di atas tanah sendiri”.
b. Isu Putra Daerah Di Riau
Sudah lama memang isu putra daerah berhembus dalam
perebutan kekuasaan di ranah lokal. Menurut Ryaas Rasyid fenomena ini sudah
mulai nampak pada era 1990-an dengan merujuk pada:
“.... kecenderungan beberapa daerah untuk mengutamakan
putra daerahnya dalam proses rekrutmen untuk jabatan-jabatan pemerintahan.
Inilah adalah gejala yang sudah mulai tumbuh sejak awal tahun 1990-an, walaupun
pada masa itu perhatian masyarakat di daerah lebih banyak terfokus kepada figur
calon kepala daerah (gubernur, bupati, walikota). Jakarta sendiri, keinginan
masyarakat Betawi untuk memperoleh gubenur dari kalangan mereka sendiri sudah
sejak lama. Hal yang serupa juga melatarbelakangi pengantian gubernur Bangkulu,
Jambi, Sulawesi Tengah, Irian Jaya, Maluku dan Riau, untuk menyebut beberapa
kasus, dari figur yang sebelumnya bukan kalangan ‘putra daerah’ ke figur baru
yang putra daerah”.
Dari sekian banyak jumlah daerah yang mulai massif
mengusung isu putra daerah adalah Riau yang akan dijadikan objek kajian dalam
tulisan ini. Persoalan putra daerah di Riau tersebut merupakan representasi
dari masa pemerintahan Orde Baru. Alasannya adalah karena daerah ini mempunyai
bobot perlawanan yang kuat dan unik terhadap pemerintah pusat sekalipun
perlawanan Riau berakhir dengan kekalahan. Kekalahan Riau melawan pemerintah
pusat bermula pada keinginan sebagian besar politisi dan masyarakatnya untuk
menjadikan putra daerahnya sebagai gubernur. Keinginan ini sudah lama
diartikulasikan oleh para politisi daerah dan menemukan momentumnya pada bulan
September 1985, yang waktu itu Ismail Suko adalah putra daerah yang menjadi
salah satu calon gubernur, karena Imam Munandar sudah menyelesaikan satu
periode dan akan memasuki periode kedua. Ismail Suko pada waktu itu menjabat
sebagai Sekretaris Dewan. Sekalipun jabatannya hanya Sekwan, Ismail punya
dukungan yang kuat, baik di DPRD maupun masyarakat luas. Dua entitas inilah
yang mempunyai peran penting dalam mendesak pemerintah pusat untuk mendukung
Ismail. Kuatnya arus dukungan dari DPRD nampak ketika anggota DPRD melakukan
kudeta terharap Imam Munandar yang mendapat dukungan dari Golkar, Beni Murdani
dan Soeharto namun dalam pemilihan DPRD memenangkan Ismail Suko. Sembilan belas
orang dari Golkar membelok dan memberikan suaranya untuk Ismail Suko. Ismail
Suko menang dalam proses demokrasi prosedural. Kemenangan secara demokratis ini
mendapat penolakan yang serius dari pemerintah. Dengan segala cara pemerintah
pusat termasuk Beni Murdani dan Soeharto waktu itu menekan daerah supaya Ismail
Suko mengundurkan diri. Bahkan dengan menghalalkan segala cara pun
dilakukannya. Misalnya dengan menggunakan kekuatan militer, polisi dan termasuk
berbagai aksi premanisme untuk meneror, menekan sampai mengancam dengan
senjata.
Perilaku penggunaan kekerasan semacam ini membuat
dendam politik Orang Melayu terhadap Jakarta. Bagi penulis peristiwa politik
Riau bisa dipandang sebagai ‘pemberontakan’ terhadap pusat di bawah rezim yang
represif waktu itu, Riau berani ‘melawan’ kehendak pusat dan mendukung ‘putra
daerah’ sebagai calonnya sendiri. Atau bisa juga kita tafsirkan sebagai
ekspresi kekesalan masyarakat lokal terhadap kesewenang-wenangan pemerintah
pusat.
c. Isu Putra Daerah di Kalimantan Barat
Semenjak reformasi digulirkan di Kalimantan Barat
terjadi kebangkitan politik etnisitas yang diperankan antar elit Dayak dan
Melayu. Kebangkitan dan keberhasilan etnis Dayak membuat etnis Melayu cemas.
Mereka khawatir akan ditinggal-dimusuhi dan dilewati oleh orang-orang Dayak
yang sedang bergerak menuntut supaya putra daerah menjadi pemimpin kepala
daerah. Tuntutan ini meskipun pada awalnya datang dari etnis Dayak namun
dikalangan Melayu juga memberikan respon yang sama. Kesamaan persepsi dan
tujuan pada pembuat kebijakan dikalangan elit politik, akhirnya dari kedua
etnis tersebut memutuskan untuk membagi kekuasaan, khususnya jabatan bupati
untuk masing-masing etnis. Jadi, terdapat power sharing dalam menjalankan
pemerintahan. Dalam prakteknya, apabila orang Dayak menjadi bupati, maka orang
Melayu ditempatkan sebagai wakilnya, begitu pula sebaliknya. Hal ini sudah
terjadi di Kabupaten Sintang dan Ketapang. Penjelasan yang sama juga dibenarkan
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) dalam bukunya politik
Lokal di Indonesia yang mengemukakan bahwa:
“Semenjak pemilihan Bupati 1999 telah terjadi power sharing antara orang-orang Melayu
dan Dayak. Kedua kelompok etnis berhasil mencapai kesepakatan mengenai daerah
kuasa mereka masing-masing. Dalam kabupaten yang mempunyai satu kelompok etnis
dominan, bupatinya berasal dari kelompok etnis tersebut. Itulah yang terjadi di
Bengkayang dan Landak yang didominasi Dayak, dan di Sambas dan pontianak yang
didominasi Melayu. Di kabupaten-kabupaten dengan komposisi etnis berimbang,
misalnya di Ketapang dan Kampuas Hulu, yang diharapkan adalah kepemimpinan
campuran”.
Sementara pengamat yang lain mengatakan, bahwa di
Sanggau, Bengkayang dan Pontianak ada asumsi yang berkembang bahwa kalau
pemerintahan dipegang oleh orang Dayak-Melayu, segala urusan bisa selesai. Dari
penjelasan ini jelas bahwa yang terjadi adalah perimbangan etnisitas. Sebuah
solusi politik jangka pendek, yang dalam perjalanannya menemukan beberapa
kendala. Ambil contoh pada bulan Oktober 1999, sebelum pemilihan Anggota Faksi
Urusan Daerah di MPR sudah ada kesepakatan untuk memilih dua orang Melayu, dua
orang Dayak dan satu dari etnis China. Pembagian diyakini sebagai cerminan
jumlah suku dan kekuatan masing-masing di Kalbar. Namun apa yang terjadi? Yang
terpilih adalah orang Dayak Islam di kalangan Dayak. Akibatnya, gedung DPRD di
Pontianak di demo dan nyaris dibakar. Orang Melayu dan Dayak bentrok. Untungnya
kerusuhan ini dapat dipadamkan dan tidak disebarluaskan.
d. Isu Putra
Daerah di Kalimantan Tengah
Fenomena yang terjadi di Kalimantan Barat juga terjadi
di Kalimantan Tengah. Hanya saja penguatan politik etnisitas di Kalimantan
Tengah dimonopoli oleh etnis Dayak untuk menghalau orang pendatang. Karena itu
isu putra daerah dikampanyekan secara massif. Hal ini terjadi karena
orang-orang Dayak merasa disingkirkan secara sistematis yang notabene ‘penduduk
asli’ Kalteng. Bahkan orang-orang Dayak dibuat sedemikian rupa untuk tinggal
dan menjadi penonton ketika alam dan kampung halaman mereka dijarah oleh
pemimpin yang datang dari luar. Karena itu ide agar putra daerah menjadi tuan
di kampung sendiri menjadi suatu keharusan sejarah. Implementasi tentang
pentingnya putra daerah menjadi pemimpin menyebar begitu cepat di kawasan
Kalteng. Bahkan masyarakat Dayak dengan gagah perkasa menggugat dan menolak
eksistensi Warsito Rusman menjadi gubenur Kalteng, itu dikarenakan selain
dipaksakan dari atas, juga tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Kalteng.
Karena itu tampilnya Teras Narang selaku Gubernur Kalteng tidak hanya disambut
dengan suka duka karena memenuhi hajak orang Dayak tetapi juga merupakan
babakan baru untuk melebarkan penguasaan jabatan-jabatan bupati oleh putra
daerah di beberapa kabupaten. Di Kota Waringin Barat (Kobar) geliat putra
daerah sangat kencang diperjuangkan. Harian Kalteng Post memberitakan:
“berikan kesempatan kepada putra daerah Kobar untuk menjadi pemimpin di
daerahnya sendiri’. Selanjutnya, “tokoh masyarakat yang bertemu Pangdam Mayjen
SM Suwisma, meminta agar mengabulkan dan merestui keinginan masyarakat Kobar
yang menghendaki seorang pemimpin bupati dari putra daerah”. Pemaksaan kehendak
untuk menampilkan putra daerah dinilai sangat emosional dan sentimen kedaerahan
sangat menonjol dalam mengikuti ritme proses-proses politik di tingkat lokal.
Keinginan untuk menaklukan kekuasaan begitu besar pengaruhnya dalam dinamika
lokal di Kalteng. Hanya saja yang perlu diwaspadai adalah muncul petualang
politik yang ikut bermain dengan mengobarkan semangat era putra daerah.
e. Isu
Penguasaan Sumber Daya Ekonomi
Perkembangan ekonomi pasar berskala global dewasa ini
telah mendorong berbagai kelompok masyarakat kembali bernaung dalam ikatan
tradisi dan solidaritas yang lingkupnya lebih kecil. Misalnya kesukuan, agama,
kedaerahan dan berbagai golongan berdasarkan strata ekonomi. Mereka muncul dan
mengekspresikan tuntutannya tanpa kompromi, melawan segara objek atau kekuasaan
yang dianggap menganggu kelangsungan hidupnya. Untuk kasus Kalimantan Barat yang
mayoritas masyarakatnya etnis Dayak telah lama melakukan perlawanan terhadap
perusahaan. Sentimen etnis Dayak terhadap perusahaan yang mengesploitasi hutan
sudah berlangsung. Bahkan perlawanannya pun dengan menggunakan kekerasan
sebagaimana ditulis oleh Pratikno. Pertama,
melalui pengrusakan dan pembakaran base camp, jembatan dan fasilitas
perusahaan oleh masyarakat setempat ketika pemerintah daerah dan PT Lingga
Tejawana tidak peduli dengan tuntutan mereka. Kedua, pembakaran kantor utama, gudang, perumaham karyawan,
bengkel, generator dan alat-alat berat, milik PT Bantana Jiaya karena tidak
kunjung merealisasikan janji mereka terkait dengan pelibatan warga dalam
penanaman sawit dan kredit kepada masyarakat. Karakter keras orang-orang Dayak
dalam mengekspresikan tuntutannya sangat berbeda dengan masyarakat Riau.
Perjuangan masyarakat Riau untuk mendapatkan hak-hak ekonomi yang lebih adil
dilakukan dengan cara terorganisir dan damai. Meskipun pemintaannya tidak mudah
dikabulkan oleh pemerintah pusat tetapi semangat dan tekanan lokal terus
dilakukan untuk memaksa pusat merealisasikan permintaannya. Hasilnya cukup
mengesankan dalam RAPBD Riau 1999 mendapat 251 miliar meningkat pada tahun 2000
menjadi 756 miliar. Seiring dengan berjalannnya waktu di bawah kepemimpinan
sang putra daerah Saleh Djasit pemasukan Riau bertambah besar yakni 3,9
triliuan. Pemasukan ini sangat wajar dan cukup berasalan karena Riau adalah
salah satu daerah kaya sumberdaya alamnya.
4.2 Implikasi Menguatnya Politik
Identitas terhadap Eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai Salah Satu Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Bhineka
Tunggal Ika sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki
peran yang cukup vital apabila dia tidak hanya diposisikan sebagai sebuah
semboyan, melainkan sebuah cita-cita yang diresapi, dihayati, untuk kemudian
diimplementasikan oleh segenap bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika seperti
kita pahami sebagai semboyan Negara, yang diangkat dari penggalan kakawin
Sutasoma mahakarya dari Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit (abad 14)
secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu. Semboyan ini
digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara
alamiah, dan sosial-kultural dibangun atas dasar keanekaragaman.
Dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut diharapkan bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang berhasil mewujudkan integrasi nasional di tengah masyarakatnya yang
majemuk. Di samping itu, semboyan tersebut diharapkan mampu menjadi nafas
perjuangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sehingga,
Indonesia tidak hanya dikenal sebagai bangsa yang multikultural, akan tetapi
dikenal sebagai bangsa yang mampu mengelola multikulturalnya untuk mencapai
tujuan nasional.
Apabila
dibenturkan dengan fenomena kekinian, maka kebhinnekaan Indonesia sangat erat
kaitannya dengan isu politik identitas. Penteorian terkait politik identitas
memiliki jenis dan ragam yang cukup banyak terkait perspektif apa yang
digunakan oleh ahli yang mendefinisikannya. Namun, dalam pembahasan ini,
penulis cenderung merujuk pada pembahasan politik identitas pada ranah praksis
atau operasional. Hal tersebut dilakukan oleh penulis mengingat isu politik
identitas semakin menguat yang diaktualisasikan secara implisit melalui pesta-pesta
demokrasi rakyat. Dalam hal ini yang menjadi rujukan yaitu partai-partai
politik yang saat ini menjadi sebuah wadah yang cukup massif bagi masyarakat
untuk bereksistensi sebagai warga negara yang partisipatif.
Seperti
kita ketahui, partai politik menjadi bagian dari infrastruktur politik dalam
era reformasi ini. Partai politik memberikan warna tersendiri bagi dinamisasi
perpolitikan di Indonesia dan mampu memberikan ruang bagi warga masyarakat yang
memilih untuk menjadi input yang tepat bagi sistem politik Indonesia. Dalam
perjalanannya, partai politik mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama
yang paling dapat diukur adalah dari segi kuantitas. Jumlah partai politik yang
menjadi peserta pemilihan umum semakin meningkat, hingga dapat kita rasakan
kertas pemilihan umum hampir seukuran koran, dan tidak jarang semakin membuat
bingung bagi para pemilih. Tetapi hal tersebut sepertinya tidak berlaku pada
pemilihan umum yang akan datang, karena terdapat perubahan dari electoral
treshold menjadi parliamentary treshold sebesar 3,5%.
Terlepas
dari itu, terkait kuantitas maupun perubahan sistem pemilihan umum bukan
menjadi fokus pembahasan yang akan dikemukakan oleh penulis. Dalam hal ini,
penulis cenderung tertarik untuk mengulas latar belakang pendirian sebuah
partai politik. Dalam arti, seseorang mendirikan partai politik ataupun
bergabung dalam sebuah partai politik dilatarbelakangi oleh persamaan agama,
suku, ras, budaya, daerah asal, atau didasari atas profesionalitas karena
adanya kesesuaian ideologi maupun asas partai. Seringkali kita jumpai topik
yang diusung dalam sebuah kampanye, baik pemilihan umum, pemilihan kepala
daerah, maupun pemilihan anggota legislatif, tidak mengusung isu-isu
profesionalitas terkait peningkatan kinerja, peningkatan kualitas pelayanan,
transparansi anggaran, perbaikan kualitas manajemen sumber daya manusia, maupun
lainnya. Akan tetapi, peserta (calon) beserta tim suksesnya, cenderung tertarik
untuk memunculkan isu-isu primordialisme maupun etnosentrisme. Bahkan, terdapat
pula beberapa partai politik yang didirikan atas dasar persamaan golongan
agama. Misalnya saja, mereka yang beragama Islam mendirikan partai politik yang
berasaskan nilai-nilai islam dan diaktualisasikan menggunakan simbol-simbol
Islam yang sangat kental. Demikian pula bagi mereka yang berasal dari suku
tertentu, dapat mengatasnamakan sukunya untuk menggalang dukungan dalam
berkampanye politik. Tentu saja bagi masyarakat yang masih berbudaya politik
dalam kategori subyek maupun kawula, masih sulit untuk menilai secara obyektif
tentang eksistensi sebuah partai politik. Sehingga akan sangat mudah bagi
mereka untuk menentukan pilihan atas dasar kesamaan yang dimiliki tanpa
pertimbangan yang cukup rasional.
Gb.
1. Poster Kampanye Calon Anggota DPRD
Beragamnya
partai politik dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas mampu
memberikan kontribusi tersendiri bagi sistem politik Indonesia. Secara
sederhana, terdapat dua implikasi yang ditimbulkan dari hal tersebut. Pertama,
implikasi positif yang ditimbulkan yaitu mampu mengartikulasikan keberagaman
yang ada di Indonesia, sehingga aspirasi masyarakat dari beraneka agama, suku,
budaya, maupun daerah dapat terakomodir melalui partai politik tersebut. Kedua,
implikasi negatif yaitu semakin menguatnya politik identitas yang ditunjukkan
oleh beberapa calon yang mengusung identitas yang dimilikinya demi tercapainya
kepentingan politis. Tanpa manajemen yang baik, politik identitas akan sampai
pada bentuk ekstrimnya yaitu disintegrasi.
Berbicara
tentang politik identitas tentu saja tidak dapat dilepaskan dari semboyan
bangsa indonesia yang sekaligus menjadi salah satu pilar kehidupan berbangsa
dan bernegara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Perlu menjadi kewaspadaan bahwa
menguatnya isu politik identitas menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi
Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat plural yang terlanjur lekat dan nyaman dengan
ego sektoral mereka akan semakin mengenyampingkan tujuan bersama, karena mereka
berlomba-lomba untuk mewujudkan tujuan golongan masing-masing. Kebhinnekaan
akan semakin mendekatkan bangsa Indonesia pada pola disintegrasi, karena ada
indikasi pengabaian pada tujuan yang satu. Akibatnya semboyan yang digagas oleh
Mpu tantular tersebut hanya akan menjadi slogan yang menghiasi di setiap ruang
maupun buku-buku yang bertemakan nasionalisme ke-Indonesiaan. Pengejawantahan
semboyan tersebut yang diharapkan mampu membawa bangsa Indonesia menuju
cita-cita luhurnya akan semakin menjadi utopis apabila bangsa ini tidak mampu
menyikapi secara bijak terhadap isu politik identitas.
4.3 Mengubah Ancaman Menjadi
Peluang untuk Menjamin Masa Depan Bhineka Tunggal Ika sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara
Berdasarkan
Survey Kehidupan Bernegara (SKB) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tanggal 27-29 Mei 2011, ditemukan bahwa persentase masyarakat yang
mengetahui tentang NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara hanya sekitar 67-78 persen. Dari hasil Survey yang
dilakukan di 181 kabupaten/kota, di 33 propinsi, di seluruh Indonesia yang
melibatkan 12.056 responden ini tampak bahwa masyarakat Indonesia memiliki
wawasan kebangsaan yang minim.
Minimnya
pemahaman dan ketidakpedulian masyarakat Indonesia tentang empat pilar utama
kehidupan berbangsa dan bernegara, terkhusus NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika
mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan kebangsaan di negeri ini. Seperti
yang terjadi belakangan ini, seperti tawuran antar pelajar, pelajar yang
mengeroyok pekerja pers, pengeboman rumah ibadah, perselisihan antar kelompok
masyarakat, antar golongan, antar agama, dan antar etnis. Beberapa permasalahan
tersebut apabila dirangkum menjadi satu akan merujuk pada tercederainya
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Menyikapi
permasalahan tersebut, tentu saja sebagai warga negara yang tinggal menikmati
dan melanjutkan perjuangan pahlawan kemerdekaan, kita dilarang untuk hanya
diam. Karena kita tidak menginginkan apa yang telah diperjuangkan oleh para
pahlawan menjadi sesuatu yang sia-sia. Bahkan bukan penjajah yang menghancurkannya,
akan tetapi saudara setanah air yang telah dibutakan oleh ego sektoralnya.
Beberapa upaya yang dapat diaplikasikan untuk menjamin eksistensi Bhinneka
Tunggal Ika sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara antara lain:
4.
Pemasyarakatan
pemahaman dan aplikasi wawasan kebangsaan
Talcott
Parsons (1951) mengenai teori sistem, mengemukakan bahwa wawasan kebangsaan
dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada tataran
sub-sistem budaya. Dalam tataran ini wawasan kebangsaan dipandang sebagai way of life atau merupakan kerangka/peta
pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan
bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya. Jadi,
sebenarnya setiap masyarakat Indonesia haruslah menjadikan wawasan kebangsaan
sebagai tolok ukur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena jika tidak,
maka setiap masyarakat Indonesia akan cenderung mengutamakan kepentingan
pribadi dan golongannya, sehingga berdampak buruk terhadap keutuhan bangsa.
Peranan
wawasan kebangsaan dalam mewujudkan keutuhan bangsa tidak terlepas dari empat
pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena melalui empat pilar
tersebut –Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika –maka segala perbedaan(agama, etnis, golongan, dan letak daerahnya)
dapat dipersatukan demi keutuhan bangsa.
Oleh
karena itu untuk menumbuhkembangkan cita-cita NKRI maka diperlukan pemahaman
tentang wawasan kebangsaan dari masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan
pengaruh rasa nasionalisme masyarakat Indonesia sebagai wujud dari wawasan
kebangsaan sangat menentukan keutuhan bangsa. Dengan demikian salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah merevitalisasi wawasan kebangsaan melalui
pemasyarakatan wawasan kebangsaan.
Pemasyarakatan
wawasan kebangsaan merupakan pemberian pemahaman kepada seluruh warga Negara
Indonesia tentang kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berlandaskan empat
pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bertujuan supaya membangkitkan
kesadaran masyarakat Indonesia dengan menghargai pluralisme bangsa dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pemasyarakatan wawasan kebangsaan
dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakat Indonesia. Misalnya
melalui media massa (cetak maupun elektronik) dan pemberian pendidikan wawasan
kebangsaan (lokakarya, seminar, dan lainnya). Selanjutnya, pemasyarakatan
wawasan kebangsaan dalam rangka mewujudkan keutuhan bangsa dapat dilakukan
melalui keteladanan para pemimpin bangsa ini. Para pejabat pemerintah yang
mengemban amanat rakyat haruslah bekerja dengan penuh integritas. Sehingga
melalui keteladanan tersebut, masyarakat semakin optimis dalam kehidupannya
berbangsa dan bernegara.
5.
Penerapan
Demokrasi Konsosiasional
Demokrasi
memang bukan menjadi sistem pemerintahan terbaik, namun hingga saat ini para
ahli belum menemukan sistem pemerintahan yang jauh lebih baik dari demokrasi.
Demokrasi memiliki beberapa jenis, namun demokrasi yang dimaksud dalam
pembahasan ini adalah demokrasi konsosiasional.
Demokrasi
konsosiasional lebih mengutamakan nilai konsensus untuk menjaga keutuhan bangsa
yang plural. Bagi bangsa dan negara yang sedang membangun, pluralitas sosial
dan keragaman budaya yang tinggi dapat menjadi ancaman dan tantangan yang
sangat serius untuk tetap menjaga integrasi bangsa. Model demokrasi ini
mengutamakan pemberian ruang terhadap keanekaragaman kehidupan sosial, budaya,
dan unit politik lokal.
Jika
dikatakan bahwa demokrasi memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi
masyarakat untuk bereksistensi, maka terkadang timbul keresahan atau ketakutan
apabila masyarakat terjebak pada euphoria kebebasan, sehingga terkadang
disadari maupun tidak, kebebasan tersebut mengurangi bahkan mencederai hak
orang lain. Akibatnya, terdapat beberapa pihak yang merasa termarginalkan atau
menjadi kelompok minoritas. Oleh karena itu, demokrasi konsosiasional hadir
untuk memberikan solusi bagi pelaksanaan demokrasi dengan tetap menghargai
perbedaan.
6.
Mengedepankan
Etika Identitas
Kebebasan
individu dalam mengaktualisasikan identitasnya dalam setiap gerakan dibatasi
oleh etika untuk menghindari terjadinya gesekan-gesekan antar indentitas yang
sangat majemuk. Kebebasan yang beretika dilakukan dengan memperhatikan dan
menghargai agensi etis setiap individu yang mengacu pada nilai-nilai etis.
Agensi etis memiliki dua kapasitas, yaitu kapasitas untuk hidup secara otonom
dengan menjunjung pilihan hidup masing-masing, dan kapasitas untuk
berkontribusi pada keadilan.
Pengedepanan
etika identitas bertujuan sebagai boudary
(bingkai/batas-batas) bagi masyarakat yang menginginkan eksis dengan
identitasnya. Hal tersebut diperbolehkan, asalkan dapat menyesuaikan dengan
norma etis untuk menjamin ketentraman hidup berbangsa dan bernegara.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Politik identitas dapat
dikatakan sebagai salah satu eksternalitas dari kebhinnekaan Indonesia. Isu
politik identitas menjadi warna tersendiri pada aktivitas politik di beberapa
daerah di Indonesia, terutama pada masa-masa pesta demokrasi rakyat. Terdapat
peserta (calon) yang cenderung tertarik menggunakan isu-isu identitas sebagai
daya tariknya untuk mencapai kepentingan politis.
2. Menguatnya isu politik
identitas menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi Bhinneka Tunggal Ika.
Masyarakat yang terlanjur larut dengan sifat ego sektoral akan menjauhkannya
dari tujuan satu bangsa yang diamanahkan melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Bhinneka Tunggal Ika hanya sekedar menjadi gugusan kata indah tanpa arah
aktualisasi dan operasionalisasi yang jelas.
3. Terdapat beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk mengubah posisi isu politik identitas, dari ancaman
kemudian menjadi peluang untuk mendorong optimalisasi penerapan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, yaitu: 1) memasyarakatkan pemahaman dan aplikasi terkait
wawasan kebangsaan, 2) menerapkan demokrasi konsosiasional, dan 3)
mengedepankan etika identitas.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah
diuraikan di atas, maka saran yang dapat direkomendasikan yaitu:
1. Bagi lembaga pendidikan baik
formal maupun non formal hendaknya menyisipkan pengetahuan tentang empat pilar
kehidupan berbangsa dan bernegara pada materi pelajaran yang akan disampaikan
kepada anak didik.
2. Mengaktualisasikan pemahaman
sekaligus penerapan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam setiap momen lokal
maupun nasional melalui kegiatan-kegiatan sederhana namun menyentuh substansi
yang diharapkan.
3. Perlu adanya kebijakan dari
pemerintah untuk meredam berdirinya partai-partai politik yang terlalu
menggembor-gemborkan isu primordialisme dan etnosentrisme yang mengarah ke isu
politik identitas.
[1] Ahmad Syafii Maarif dalam “Politik
Identitas dan Masa Depan Pluralisme
Indonesia”, mendefinisikan kelompok ini
MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Fron Pembela Islam), dan HTI (Hizbut
Tahrir Indonesia) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan yang berbeda dari 3
kelompok sebelumnya yaitu PKS mengakui adanya Demokrasi.
[2] Lihat L.A. Kaufffman, ”The Anti-Politics of Identity,” Socialist
Review, No.1, Vol. 20 (Jan.-March 1990), hal. 67-80. Analisis yang lebih
komprehensif tentang politik identitas ini dapat dibaca dalam karya Amy
Gutmann, Identity in Democracy (Princeton, New Jersey: Princeton
University Press, 2003), setebal 211 halaman plus catatan akhir dan indeks
dalam Ahmad Syafii Maarif dalam “Politik
Identitas dan Masa Depan Pluralisme
Indonesia”.
[3] Muhtar Haboddin. Menguatnya Politik Identitas
di Ranah Lokal. Jurnal Studi Pemerintahan Volume 3 Nomor 1 Februari 2012.
[4]Agnes Heller seperti yang dikutip Ubed
Abdillah. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang:IndonesiaTera. hlm.
22.
[5] Ibid, Muhtar Habbodin
[6] Ahmad syafii Maarif, Politik
Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta, Democracy Project, 2012,
halm. 77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar