Sabtu, 03 November 2012

MENGUATNYA POLITIK IDENTITAS

MENGUATNYA POLITIK IDENTITAS: POTENSI ATAU ANCAMAN BAGI MASA DEPAN KEBHINNEKAAN INDONESIA

 Oleh
NURAIDA MUJI KURNIA EKA PRATIWI

________________________________________________________________

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
 Indonesia memberikan perhatian yang besar terhadap masalah integrasi. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari kondisi keragaman masyarakat yang terjadi di Indonesia. Bahkan sebagai dampak dari keragamannya tersebut, masyarakat Indonesia disebut masyarakat “super majemuk”. Sebuah catatan Hildred Geertz memberikan informasi bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa besar kecil dengan bahasa dan identitas kultural yang berbeda-beda, sedangkan Skinner menyebutkan lebih dari 30 suku bangsa besar yang mewarnai kemajemukan masyarakat Indonesia (Nasikun dalam Yuswadi dan Rahman, 2004: 47). Kemajemukan tersebut memiliki dua implikasi yang kontradiktif, di satu sisi kemajemukan tersebut menjadi karakteristik dan daya tarik tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun di sisi lain, ia menjadi sebuah ancaman bagi integrasi bangsa yang mendorong pada disintegrasi. Sehingga patut disyukuri jika sampai hari ini, kurang lebih 67 tahun lamanya, bangsa Indonesia masih mampu mempertahankan persatuan NKRI, walaupun harus ditempuh dengan berbagai perjuangan dan pengorbanan yang tidak mudah. Karena proklamasi yang yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak menjamin bangsa Indonesia akan terbebas dari segala bentuk ancaman terhadap keutuhan bangsa, justru ancaman dengan berbagai modus operandi datang untuk merongrong persatuan dan kesatuan bangsa, salah satunya dewasa ini kita temui fenomena politik identitas.
Era politik kontemporer saat ini menunjukkan sebuah realitas kegamangan yang dialami bangsa Indonesia terkait menguatnya politik identitas. Agnes Heller (dalam Abdillah, 2002: 22) mengasumsikan politik identitas sebagai politik yang memfokuskan pembedaan sebagai kategori utamanya yang menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan bermain (free play) walaupun memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis. Politik identitas dapat   mencakup rasisme, bio-feminisme, environmentalism (politik isu lingkungan), dan  perselisihan etnis. Oleh karena itu, bila dilacak dari sejarah Indonesia politik identitas yang muncul cenderung bermuatan etnisitas, agama dan ideologi politik. Terkait dengan kondisi bangsa Indonesia yang multikulturalisme, maka politik identitas dapat menjadi bahan kajian yang menarik untuk ditelaah.
Pola Operasionalisasi Politik Identitas ini  dapat kita jumpai pada realitas yang terjadi di masyarakat ditunjukkan dengan banyaknya perbenturan kepentingan dan fenomena ego sektoral, antara lain: Pertama, operasionalisasi politik identitas dimainkan peranannya secara optimal melalui roda pemerintahan. Hal ini sejalan dengan bergeseranya pola sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah oleh konstituen di daerah masing-masing. Politik Identitas ini ditampakkan dengan maraknya isu etnisitas dan gejala primordialisme yang diusung melalui isu “putra daerah” dalam menduduki jabatan publik, isu etnis asli dan anti pendatang, dan isu etnis mayoritas dan minoritas.  Kedua, wilayah agama sebagai lahan beroperasinya politik identitas. Dalam konteks Indonesia politik identitas itu dilakukan oleh kelompok mainstream, yaitu kelompok agama mayoritas, dengan niat ”menyingkirkan” kaum minoritas yang dianggapnya ”menyimpang” atau ”menyeleweng”. Bersamaan dengan ini munculnya gerakan-gerakan radikal atau semi radikal yang “berbaju” Islam di Indonesia. Mereka memiliki partner dan funding di negara lain, yang juga memiliki gerakan anti-demokrasi, anti-pluralisme, hingga anti-nasionalisme. Secara ideologis, mereka mendapat inspirasi dan pengaruh dari gerakan Islamis dan Salafi yang semula berpusat di beberapa negara-negara Arab, kemudian dengan kecepatan tinggi menyebar ke seluruh dunia[1]. Ketiga adalah wilayah hukum. Ini merupakan wilayah paduan antara wilayah negara dan agama, karena masing-masing memiliki aturannya sendiri. Pada sisi ini, politik identitas beroperasi dengan cara pembagian kekuasaan, di mana identitas kelompok akan memasukkan kepentingan identitasnya secara partikular. Kemungkinan modus kita akan menjadi dasar bagi hubungan politik identitas yang dibangun sangatlah besar. Namun demikian, hal ini tidak akan terjadi seandainya kepentingan dari politik identitas etnis yang bersifat minoritas tidak terjembatani melalui pengakuan hak-haknya untuk berpartisipasi di wilayah pembuatan keputusan hukum secara bersama.
Berdasarkan pada ketiga pola operasionalisasi tersebut, politik identitas cenderung mendistorsi wawasan kebangsaan yang secara perlahan dibangun oleh bangsa Indonesia. Menguatnya gejala politik identitas terutama akhir-akhir ini, lebih banyak dipengaruhi kepentingan politik praktis. Sehingga dasar kemajukan dalam ikatan persatuan dan kesatuan sebagai modal dasar tumbuhnya nasionalisme tidak pernah tuntas dalam proses pendefinisian tentang identitas ke-Indonesiaan. Dampaknya pada bangsa ini akan selalu muncul fenomena merebaknya respon-respon kultural di sejumlah daerah dengan persoalan baru terkait munculnya konflik antar agama, etnisitas, maupun kewarganegaraan. Konflik-konflik yang sama juga akan terjadi di tengah masyarakat, disebabkan beberapa kelompok masyarakat lebih mengedepankan identitas sempitnya, akibatnya kohesi sosial pun terganggu. Dalam kondisi ini, Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang mempu menyokong keutuhan bangsa akan semakin terancam keberadaanya.
Tentu saja telah menjadi sebuah panggilan jiwa untuk tidak membiarkan hal tersebut terjadi. Seperti yang dikemukakan Buya Syafii Maarif bahwa Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Sehingga jelas bahwa politik identitas tidak selalu dipandang sebagai ancaman terhadap keutuhan bangsa, melainkan ia dapat menjadi sebuah potensi untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa melalui kemampuan untuk mengaplikasikan semangat Bhineka Tunggal Ika dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Politik Identitas dan Kebhinekaan adalah tema yang sangat tepat untuk digumuli dalam realitas kekinian Indonesia. Tema tersebut dipandang strategis dan penting untuk dijadikan sebagai diskursus intelektual. Tema itu tidak saja bersentuhan dengan masa depan bangsa Indonesia, akan tetapi juga menantang pengerahan energi pikir guna mencari dan menemukan formasi yang tepat dalam menempatkan dan mendialogkan berbagai perbedaan terutama di antara berbagai identitas bangsa Indonesia dalam posisi yang setara, demi terpeliharanya keutuhan dan persatuan bangsa.


1.2 Rumusan Permasalahan
 Berdasarkan pada beberapa analisis fenomena kekinian dan kajian teoritis terkait menguatnya politik identitas, maka penulis membatasi fokus kajian pada  beberapa  rumusan permasalahan, antara lain:
1. Bagaimana praktik politik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia terkait menguatnya politik identitas?
2.   Bagaimana implikasi menguatnya politik identitas terhadap eksistensi Bhineka Tunggal Ika sebagai  salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara?
3.  Bagaimana mengubah ancaman dari menguatnya politik identitas menjadi sebuah peluang untuk menjamin masa depan Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar penegak kesatuan bangsa?


1.3 Tujuan Penulisan
 Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu sebagai berikut:
1.   Memaparkan pola operasionalisasi politik identitas dalam beberapa praktik politik di berbagai daerah.
2.     Menganalisis implikasi yang ditimbulkan dari menguatnya isu politik identitas terhadap eksistensi semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
3.     Menganalisis upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif politik identitas hingga mampu mengubahnya menjadi peluang untuk mendorong persatuan bangsa.

1.4 Manfaat Penulisan
 Berdasarkan tujuan yang telah dipaparkan di atas, maka manfaat yang didapatkan dari penulisan karya tulis ilmiah ini antara lain:
1.    Mengetahui rekam jejak sejarah politik identitas dari negara asalnya hingga sampai di negara Indonesia.
2.     Mengetahui dan memahami pola operasionalisasi politik identitas pada beberapa praktik politik di Indonesia.
3.  Mendapatkan solusi alternatif untuk mempertahankan Bhineka Tunggal Ika dengan meminimalkan dampak negatif dan mengoptimalkan peluang positif dari fenomena menguatnya politik identitas.

1.5 Gagasan Kreatif (harus dominan tentang kebhinekaan)
Pluralisme yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan sebuah keniscayaan, dan kita berhak memiliki rasa bangga atas keanekaragaman yang membuat bangsa kita kaya akan budaya. Namun, pluralitas tidak hanya cukup dianggap sebagai sebuah anugerah yang menciptakan keunikan tersendiri bagi bangsa kita. Karena pluralitas mengandung implikasi tersendiri yang mampu memicu konflik hingga berujung pada separatisme. Dalam hal  ini, politik identitas menjadi salah satu implikasi pluralitas tersebut. Beberapa oknum menggunakan identitas lokalnya (agama, suku, kedaerahan) demi tercapainya kepentingan politis pribadi maupun golongannya.
Akibatnya, dalam ranah politis, muncul partai-partai kecil yang mengatasnamakan kesamaan agama, suku, dan daerah asal. Hal ini merupakan wujud dari keberagaman dan kebebasan warga dalam berkumpul serta berserikat. Namun, pluralitas tersebut kadangkala tiba pada titik ekstrimnya yaitu konflik antar suku, agama, maupun etnis. Ego sektoral untuk mengunggulkan identitas masing-masing akhirnya menciderai tujuan nasional yang seharusnya mampu diwujudkan bersama.
Permasalahan tersebut perlu mendapat perhatian serius dan solusi mutakhir supaya politik identitas tidak menjadi konflik laten yang dapat mengubah kebhinekaan Indonesia menjadi kontraproduktif. Beberapa pemikiran yang ditawrkan penulis sebagai alternatif solusi untuk menyikapi permasalahan tersebut antara lain:

1.     Pemasyarakatan pemahaman dan aplikasi wawasan kebangsaan
Pemasyarakatan wawasan kebangsaan merupakan pemberian pemahaman kepada seluruh warga Negara Indonesia tentang kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berlandaskan empat pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bertujuan supaya membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia dengan menghargai pluralisme bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diwujudkan melalui media massa (cetak maupun elektronik), pemberian pendidikan wawasan kebangsaan (lokakarya, seminar, dan lainnya), dan keteladanan dari pemimpin bangsa.

2.     Penerapan Demokrasi Konsosiasional
Demokrasi konsosiasional lebih mengutamakan nilai konsensus untuk menjaga keutuhan bangsa yang plural. Bagi bangsa dan negara yang sedang membangun, pluralitas sosial dan keragaman budaya yang tinggi dapat menjadi ancaman dan tantangan yang sangat serius untuk tetap menjaga integrasi bangsa. Model demokrasi ini mengutamakan pemberian ruang terhadap keanekaragaman kehidupan sosial, budaya, dan unit politik lokal.

3.     Mengedepankan Etika Identitas
Kebebasan individu dalam mengaktualisasikan identitasnya dalam setiap gerakan dibatasi oleh etika untuk menghindari terjadinya gesekan-gesekan antar indentitas yang sangat majemuk. Kebebasan yang beretika dilakukan dengan memperhatikan dan menghargai agensi etis setiap individu yang mengacu pada nilai-nilai etis. Agensi etis memiliki dua kapasitas, yaitu kapasitas untuk hidup secara otonom dengan menjunjung pilihan hidup masing-masing, dan kapasitas untuk berkontribusi pada keadilan.

1.6 Kemutakhiran Substansi yang akan dibahas
Fenomena politik identitas bukan menjadi sebuah isu kontemporer, namun merupakan sebuah fenomena klasik yang masih menarik untuk dibahas sebagai isu kekinian. Karena realitas menunjukkan bahwa gejala politik identitas semakin menguat, terutama dalam setiap pesta demokrasi rakyat. Konflik terkait politik identitas pun belum mendapatkan solusi relevan dan mutakhir, terbukti dari beberapa permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat topik terkait politik identitas sekaligus menawarkan beberapa solusi yang diharapkan mampu membawa angin segar bagi fenomena involusi politik identitas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Politik Identitas
 Politik identitas mendapat tempat yang istimewa beberapa tahun terakhir. Walaupun jauh sebelum era millenium, L. A. Kauffman telah melacak asal-muasalnya pada gerakan mahasiswa anti-kekerasan yang dikenal dengan SNCC (The Student Nonviolent Coordinating Committee), sebuah organisasi gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat di awal 1960-an[2], sehingga dia dapat menemukan hakikat dari politik identitas. Di samping itu, untuk memperdalam studi tentang politik identitas, seperti Ania Loomba, Homi K. Bhabha dan Gayatri C Spivak adalah nama-nama yang patut masuk dalam daftar referensi. Mereka dirujuk karena sumbangsihnya dalam meletakkan politik identitas sebagai ciptaan dalam wacana sejarah dan budaya. Sementara dalam literatur ilmu politik, politik identitas dibedakan secara tajam antara identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of identity).[3] Political identity merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik sedangkan political of identity mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik.
Pemaknaan bahwa politik identitas sebagai sumber dan sarana politik dalam pertarungan perebutan kekuasaan politik sangat dimungkinkan dan kian mengemuka dalam praktek politik kekinian. Karena itu para ilmuwan yang bergelut dalam wacana politik identitas berusaha sekuat mungkin untuk mencoba menafsirkan kembali dalam logika yang sangat sederhana dan lebih operasional. Misalnya saja Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai politik yang memfokuskan pada pembedaan sebagai kategori utamanya yang menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan bermain (free play), walaupun memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis. Politik identitas dapat mencakup rasisme, bio-feminisme, environmentalism (politik isu lingkungan), dan perselisihan etnis.[4]. Sedangkan Donald L Morowitz (1998), pakar politik dari Univeritas Duke, mendefinisikan politik identitas merupakan pemberian garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen.[5] Baik Agnes Heller maupun Donald L Morowitz memperlihatkan sebuah benang merah yang sama yakni politik identitas dimaknai sebagai politik berbedaan.
Konsep ini juga mewarnai hasil Simposium Asosiasi Politik Internasional di selenggarakan di Wina pada 1994. Kesan yang lain dari pertemuan Wina adalah lahirnya dasar-dasar praktik politik identitas. Sementara Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa:
“Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi ‘orang asli’ yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi ‘orang pendatang’ yang harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi—alat untuk menggalang politik—guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.

Pemaknaan politik identitas antara Kemala dengan Agnes Heller dan Donald L Morowitz sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh dalam melihat politik identitas yang terjadi pada tataran praktis. Yang biasanya digunakan sebagai alat memanipulasi—alat untuk menggalang politik guna kepentingan ekonomi dan politik. Namun, pada bagian yang lain, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran dengan mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik. Pemahaman ini berimplikasi pada kecenderungan untuk: Pertama, ingin mendapat pengakuan dan perlakuan yang setara atau dasar hak-hak sebagai manusia baik politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Kedua, demi menjaga dan melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan. Terakhir, kesetiaan yang kuat terhadap etnistas yang dimilikinya.
Selain tiga kecenderungan di atas Klaus Von Beyme (dalam Ubaid Abdillah, 2002) menyebutkan ada tiga karakteristik yang melekat pada politik identitas, yakni; 1) Gerakan politik identitas pada dasarnya membangun kembali “narasi besar” yang prinsipnya mereka tolak dan membangun suatu teori yang mengendalikan faktor-faktor biologis sebagai penyusun perbedaan–perbedaan mendasar sebagai realitas kehidupannya; 2) Dalam gerakan politik identitas ada suatu tendensi untuk membangun sistem apartheid terbalik. Ketika kekuasaan tidak dapat ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak tercapai sebagai tujuan gerakan, pemisahan dan pengecualian diri diambil sebagai jalan keluar; 3) Kelemahan dari gerakan politik identitas adalah upaya untuk menciptakan kelompok teori spesifik dari ilmu. Dari tiga kriteria tersebut, selanjutnya Von Beyme (dalam Ubed Ubdillah,2002) membuat analisis lanjutan dengan melihat politik identitas melalui pola gerakan, motivasi dan tujuan yang ingin dicapai. Hasil dari analisis Von Beyme digambarkan melalui tabel berikut:
Tabel1. Model Politik Identitas
Model
Pola Keterangan
Pola aksi
Tujuan gerakan
Pra Modern
Perpecahan objektif (dimana ada perpecahan fundamental pasti ada gerakan sosial yang menyeluruh)
Mobilisasi secara ideologis atas aspirasi pemimpin
Perampasan kekuasaan
Modern
Pendekatan kondisional (keterpecahan membutuhkan sumber-sumber untuk dimobilisasi)
Keseimbangan mobilisasi dari atas dan partisipasi dari bawah
Pembagian kekuasaan
Postmodern
Gerakan dari dinamikanya sendiri. Protes muncul dari berbagai macam kesempatan individual. Tidak terdapat suatu perpecahan yang dominan
Kesadaran diri
Otonomi
Sumber: Ubed Abdillah, 2002:147

Apabila wacana politik identitas di atas dikaitkan dengan realitas politik  kontemporer di Indonesia, maka Budiman Sudjatmiko[6] mengungkapkan bahwa kehadiran politik identitas adalah antitesis dari kekuatan politik yang sentralistis dan hegemonik selama Orde Baru berkuasa. Kemunculan politik identitas secara massif direpresentasikan dengan munculnya beberapa kekuatan politik yang mengusung simbol dan ideologi Islam. Realitas objektif tersebut tidak terlepas dari memori kolektif massa yang dekat dengan Islam, karena beberapa tendensi politik identitas lain menjadi tabu bahkan “diharamkan” untuk direvitalisasi.

2.2 Empat Pilar Kebangsaan
 Dalam berbagai wacana selalu terungkap bahwa telah menjadi kesepakatan bangsa adanya empat pilar penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara bagi negara-bangsa Indonesia. Bahkan beberapa partai politik dan organisasi kemasyarakatan telah bersepakat dan bertekad untuk berpegang teguh serta mempertahankan empat pilar kehidupan bangsa tersebut. Empat pilar dimaksud dimanfaatkan sebagai landasan perjuangan dalam menyusun program kerja dan dalam melaksanakan kegiatannya. Hal ini diungkapkan lagi oleh Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, pada kesempatan berbuka puasa dengan para pejuang kemerdekaan pada tanggal 13 Agustus 2010 di istana Negara.
Empat pilar tersebut adalah (1) Pancasila, (2) Undang-Undang Dasar 1945, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan (4) Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun hal ini telah menjadi kesepakatan bersama, atau tepatnya sebagian besar rakyat Indonesia, masih ada yang beranggapan bahwa empat pilar tersebut adalah sekedar berupa slogan-slogan,  sekedar suatu ungkapan indah, yang kurang atau tidak bermakna dalam menghadapi era globalisasi. Bahkan ada yang beranggapan bahwa empat pilar tersebut sekedar sebagai jargon politik. Yang diperlukan adalah landasan riil dan konkrit yang dapat dimanfaatkan dalam persaingan menghadapi globalisasi.
Untuk itulah perlu difahami secara memadai makna empat pilar tersebut, sehingga kita dapat memberikan penilaian secara tepat, arif dan bijaksana terhadap empat pilar dimaksud, dan dapat menempatkan secara akurat dan proporsional dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berikut disampaikan secara singkat tentang keempat pilar tersebut.
a.         Pilar Pancasila
Pancasila dinilai memenuhi syarat sebagai pilar bagi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik dan cukup luas dan besar ini. Pancasila mampu mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia, merupakan common denominator dari berbagai agama, sehingga dapat diterima semua agama dan keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Pancasila menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, namun dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Sedang kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kesejahteraan perorangan atau golongan. Nampak bahwa Pancasila sangat tepat sebagai pilar bagi negara-bangsa yang pluralistik.
Pancasila sebagai salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki konsep, prinsip dan nilai yang merupakan kristalisasi dari belief system yang terdapat di seantero wilayah Indonesia, sehingga memberikan jaminan kokoh kuatnya Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

b.  Pilar Undang-Undang Dasar RI 1945
Pilar kedua kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memahami dan mendalami UUD 1945, diperlukan memahami lebih dahulu makna undang-undang dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Tanpa memahami prinsip yang terkandung dalam Pembukaan tersebut tidak mungkin mengadakan evaluasi terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuhnya dan barbagai undang-undang yang menjadi derivatnya.
Salah satu bagian yang penting dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah Pembukaannya, yang biasa disebut juga dengan istilah Preambule atau Mukaddimah. Dalam Pembukaan suatu UUD atau Konstitusi terkandung prinsip atau pandangan filsafat yang menjadi dasar perumusan pasal-pasal Batang Tubuh Konstitusi, yang dijadikan pegangan dalam hidup bernegara. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: 1) sumber kekuasaan, 2) Hak Asasi Manusia, 3) Sistem Demokrasi, 4) Faham kebersamaan dan kegotongroyongan.

c.   Pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, di antaranya mengusulkan sebagai dasar negara yang akan segera dibentuk adalah faham kebangsaan, sebagai landasan berdirinya negara kebangsaan atau nationale staat. Berikut kutipan beberapa bagian dari pidato tersebut. “Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 ½ milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan suatu kesatuan, melainkan hanya satu bagian daripada satu kesatuan. Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya sebagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat Rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi Sunda pun satu bagian kecil daripada kesatuan.
Dari kutipan pidato tersebut tidak dapat dijadikan landasan argumentasi bagi terbentuknya negara kesatuan. Apalagi kalau kita ikuti lebih lanjut pidato Bung Karno yang justru memberikan gambaran negara kebangsaan pada negara-negara federal seperti Jermania Raya, India dan sebagainya. Dengan demikian sila ketiga Pancasila “persatuan Indonesia,” tidak menjamin terwujudnya negara berbentuk kesatuan, tetapi lebih ke arah landasan bagi terbentuknya negara kebangsaan atau nation-state.
Untuk mencari landasan bagi Negara kesatuan para founding fathers lebih mendasarkan diri pada pengalaman sejarah bangsa sejak zaman penjajahan, waktu perjuangan kemerdekaan sampai persiapan kemerdekaan bangsa Indonesia. Penjajah menerapkan pendekatan devide et impera, atau pecah dan kuasai. Pendekatan tersebut hanya mungkin dapat diatasi oleh persatuan dan kesatuan. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan melawan penjajah selalu dapat dipatahkan oleh penjajah dengan memecah dan mengadu domba. Hal ini yang dipergunakan sebagai alasan dan dasar dalam menentukan bentuk negara kesatuan.
d.     Pilar Bhinneka Tunggal Ika
Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diungkap oleh mPu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD 1945.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengacu pada bahasa Sanskrit, hampir sama dengan semboyan e Pluribus Unum, semboyan Bangsa Amerika Serikat yang maknanya diversity in unity, perbedaan dalam kesatuan. Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, sekitar empat abad setelah mpu Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sangat mungkin tidak ada hubungannya, namun yang jelas konsep keanekaragaman dalam kesatuan telah diungkap oleh mPu Tantular lebih dahulu.
Sejak awal telah begitu banyak pihak yang berusaha membahas untuk memahami dan memberi makna Pancasila, serta bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu pilar Bhinneka Tunggal Ika masih kurang menarik bagi pihak-pihak untuk membahas dan memikirkan bagaimana implementasinya, padahal Bhinneka Tunggal Ika memegang peran yang sangat penting bagi negara-bangsa yang sangat pluralistik ini. Dengan bertitik tolak dari pemikiran ini, dicoba untuk membahas makna Bhinneka Tunggal Ika dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dapat menjadi tiang penyangga yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.


2.3 Demokrasi Konsosiasional
 Secara teoritis, solusi bagi negara-negara yang memiliki pluralisme sosial, budaya, dan politik yang tinggi adalah dengan mengetengahkan konsep alternatif. Sebab, dibanding dengan negara demokrasi Barat, unsur-unsur primordial sangat kental dalam kehidupan berdemokrasi di negara-negara yang sedang membangun. Dalam kaitan itu, Afan Gaffar (1994), dengan mengetengahkan kasus demokrasi di Indonesia menyimpulkan, bahwa demokrasi prosedural sebagaimana yang berlaku di negara Barat, sulit untuk diterapkan di Indonesia. Dengan kata lain, pembangunan demokrasi di negara-negara membangun adalah sebagai demokrasi yang tidak lazim (Uncommon democracy). Pendapat Gafar merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Arent Lipjhart yang berhasil merumuskan konsep alternatif sebagai corak demokrasi di negara-negara dunia ketiga.
Konsep alternatif ini harus dilihat sebagai upaya para pakar untuk menjawab pelbagai keterbatasan dan keunikan sistem politik di negara-negara yang sedang membangun. Konsep Lipjhart (1996), dapat dikatakan sebagai suatu kombinasi antara unsur tradisional-primordial dengan nilai demokrasi modern. Konsep ini dibangun atas realitas masyarakat yang pluralis dan multi-etnik (primordial) dengan mengaitkan keberadaan institusi demokrasi. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah Demokrasi Konsosiasional (Consociational Democracy), dengan pemerintah pusat mengakomodasi aspirasi kelompok-kelompok agama, etnik, dan linguistik, adanya otonomi budaya setiap kelompok, perimbangan dalam perwakilan politik dan rekrutmen pegawai pemerintah dan perlindungan kelompok minoritas (Lipjhart, 1996 :258-268).
Pada umumnya, ciri-ciri demokrasi yang dikemukakan Lijphart, dipraktikkan oleh beberapa negara di Asia seperti Malaysia dan Afrika. Dalam istilah lain, demokrasi konsosiasional juga dinamakan sebagai demokrasi permusyawaratan atau permufakatan yang lebih mengutamakan nilai konsensus untuk menjaga keutuhan bangsa yang plural. Bagi bangsa dan negara yang sedang membangun, pluralitas sosial dan keragaman budaya yang tinggi dapat menjadi ancaman dan tantangan yang sangat serius untuk tetap menjaga integrasi bangsa. Kebebasan di luar kontrol berkemungkinan akan menimbulkan banyak bahaya bahkan disintegrasi bangsa. Di sisi lain, tuntutan demokratisasi juga tidak mungkin dielakkan, dan harus mampu memberikan ruang terhadap kekayaan keanekaragam kehidupan sosial, budaya, dan unit politik lokal. Tegasnya, model demokrasi konsosiasional dapat dikembangkan lebih jauh sebagai bentuk pengakuan terhadap politik lokal dengan masyarakat yang memiliki ciri-ciri kekhususan seperti Aceh dan Yogyakarta. Fenomena ini mengukuhkan pendapat, bahwa wujud demokrasi lebih pada makna substansi dibanding dengan bentuk demokrasi yang pada dasarnya memang tidak mungkin sama. Oleh karena itu, perbedaan latar belakang sejarah, sosial, budaya, politik dan perubahan global bentuk atau model demokrasi dalam praktiknya bisa berbeda (Chang Hee, 1996).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka sebagai cara untuk melakukan analisa sehingga diperoleh hasil yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebuah argumentasi perlu didukung dengan data dan kajian ilmiah agar bisa dipertangungjawabkan. Untuk itulah maka penelitian ini menggunakan studi pustaka untuk mendukung argumentasi yang dibangun.
Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang berasal dari buku-buku literatur. Menurut Gorys Keraf (1997: 165) metode studi pustaka adalah metode pengumpulan data yang memanfaatkan buku atau literatur sebagai bahan referensi untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan atau pendapat para ahli dengan mendapatkan kesimpulan tersebut sebagai metode sendiri.
                                                                                        
3.2 Langkah-Langkah Studi Pustaka
Beberapa langkah yang harus ditempuh oleh seorang peneliti dalam melakukan penelitian studi pustaka yaitu:
1.     Mendaftar semua variable yang perlu diteliti.
2.     Mencari setiap variable pada "subject encyclopedia".
3.     Memilih deskripsi bahan-bahan yang diperlukan dari sumber-sumber yang tersedia.
4.     Memeriksa indeks yang memuat variable-variabel dan topik masalah yang diteliti.
5.   Selanjutnya yang menjadi lebih khusus adalah mencari artikel-artikel, buku-buku, dan biografi yang sangat membantu untuk mendapatkan bahan-bahan yang relevan dengan masalah yang diteliti.
6.     Setelah informasi yang relevan ditemukan, peneliti kemudian "mereview" dan menyusun bahan pustaka sesuai dengan urutan kepentingan dab relevansinya dengan masalah yang sedang diteliti.
7.  Bahan-bahan informasi yang diperoleh kemudian dibaca, dicatat, diatur, dan ditulis kembali. Untuk keperluan ini biasanya peneliti dapat menggunakan dua macam kartu, yaitu kartu bibliografi (bibliography card) dan kartu catatan (content card). Agar dapat dibedakan, kedua kartu tersebut dapat berbeda wamanya. Kartu bibliografi dibuat untuk mencatat keterangan tentang judul buku, majalah , surat kabar, dan jurnal. Catatan pada kartu bibliografi berisikan nama pengarang, judul buku, penerbit, dan tahun penerbitannya. Sedangkan pada kartu catatan atau content card, peneliti dapat menulis kutipan (quotation) dari tulisan tertentu, saduran, ringkasan, tanggapan atau komentar peneliti terhadap apa yang telah dibaca.
8.    Dalam langkah terakhir,yaitu proses penulisan penelitian dari bahan-bahan yang telah terkumpul dijadikan satu dalam sebuah konsep penelitian.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1     Praktik Politik Identitas di Ranah Lokal
Pilihan politik maupun budaya masyarakat untuk menutup diri merupakan jalan terbaik dalam mengikuti jejak langkah politik kekuasaan Orde Baru. Oleh karena itu, ketika negara sudah mengalami pelemahan basis materialnya maka masyarakat akan mencari perlindungan pada kelompok agama maupun etnistas (Henk, 2007). Pencarian perlindungan masyarakat kepada etnisitas maupun agama cepat atau lambat akan membahayakan posisi pemerintah dalam bangunan relasi vertikalnya tetapi juga rawan, rentan, penuh resiko dan sangat berbahaya dalam relasi horizontalnya. Ternyata, dugaan ini dapat dibuktikan kebenarannya. Aneka konflik yang terjadi di ranah lokal, pada 1995-an hingga runtuhnya rezim Orde Baru membuktikan betapa dahsyatnya kekerasan politik di tanah air.

a.     Dominasi Pendatang dalam Birokrasi: Kasus Papua
Fenomena Irian adalah kisah tentang ketidakberdayaan, dimana terdapat indikasi adanya keterbelakangan penduduk aslinya. Ketidakberdayaan atau kerbelakangan yang disengaja ataupun tidak, mempunyai implikasi pada posisi dalam pemerintahan. Bahkan realitas menunjukkan terjadinya penguasaan birokrasi oleh kaum pendatang. Hal ini dibenarkan Syamsuddin Haris (1999) dalam Indonesia di Ambang Perpecahan. Dalam tulisannya, Haris menyatakan bahwa selama Irian bergabung dengan Indonesia dominasi birokrasi etnis non Irian terjadi baik di Provinsi maupun di Kabupaten. Implikasinya adalah peranan orang-orang Irian dalam pengambilan keputusan mengenai mereka sendiri terasa termarginalkan. Pembinaan aparatur dari pusat maupun daerah dipandang tidak menghasilkan putra daerah Irian. Bahkan pejabat di Pemerintahan Daerah maupun di Kantor Wilayah Departemen Teknis di Daerah Provinsi dan Kabupaten ternyata diisi oleh orang-orang non Irian. Dominasi non-Irian ini pada akhirnya hanya menghasilkan kebijakan, penyelesaikan masalah politik dan sebagainya yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat Irian.
Dominasi semacam ini melahirkan dua bentuk kekecewaan. Pertama, membangkitkan rasa solidaritas yang merupakan perasaan terintegrasi yang dialami oleh segenap individu sebagai bagian dari suatu kelompok. Kedua, Kekecewaan itu pada akhinya diekspresikan melalui sebuah kalimat dari Syamsuddin Haris “dengan keinginan memisahkan diri dari NKRI”. Bentuk lain yaitu adanya gerakan rakyat pribumi yang menuntut merdeka dari Indonesia. Implikasinya adalah para penduduk asli mengeksploitasi kebijakan pemerintah yang tak berkeadilan, lalu mereka mencari legitimasi historis tentang ketidakabsahan penggabungan Irian dengan bumi Indonesia. Usaha mempersoalkan legitimasi bisa dibaca sebagai usaha membangun politik kesukuan dalam kerangka mendapatkan akses dan pembagian sumberdaya baik ekonomi maupun politik. Sumber daya di bidang politik nampak dengan munculnya usulan bahwa seluruh struktur dan lembaga politik di Irian Jaya, baik eksekutif maupun legislatif—80% harus dikuasai oleh orang-orang Papua sehingga perasaan sebagai bagian dari Indonesia tidak akan pernah hilang dan mereka bisa memainkan peran yang besar dalam pengambilan keputusan diberbagai bidang. Lebih lanjut disebutkan bahwa sistem ini berfungsi secara efektif dengan berpartisipasinya orang-orang Papua untuk menghilangkan pikiran dan perasaan negatif. Ditambahkan pula dengan munculnya gerakan dari pejabat pemerintah setempat akan pentingnya “menjadi tuan di atas tanah sendiri”.

b.  Isu Putra Daerah Di Riau
Sudah lama memang isu putra daerah berhembus dalam perebutan kekuasaan di ranah lokal. Menurut Ryaas Rasyid fenomena ini sudah mulai nampak pada era 1990-an dengan merujuk pada:
“.... kecenderungan beberapa daerah untuk mengutamakan putra daerahnya dalam proses rekrutmen untuk jabatan-jabatan pemerintahan. Inilah adalah gejala yang sudah mulai tumbuh sejak awal tahun 1990-an, walaupun pada masa itu perhatian masyarakat di daerah lebih banyak terfokus kepada figur calon kepala daerah (gubernur, bupati, walikota). Jakarta sendiri, keinginan masyarakat Betawi untuk memperoleh gubenur dari kalangan mereka sendiri sudah sejak lama. Hal yang serupa juga melatarbelakangi pengantian gubernur Bangkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Irian Jaya, Maluku dan Riau, untuk menyebut beberapa kasus, dari figur yang sebelumnya bukan kalangan ‘putra daerah’ ke figur baru yang putra daerah”.

Dari sekian banyak jumlah daerah yang mulai massif mengusung isu putra daerah adalah Riau yang akan dijadikan objek kajian dalam tulisan ini. Persoalan putra daerah di Riau tersebut merupakan representasi dari masa pemerintahan Orde Baru. Alasannya adalah karena daerah ini mempunyai bobot perlawanan yang kuat dan unik terhadap pemerintah pusat sekalipun perlawanan Riau berakhir dengan kekalahan. Kekalahan Riau melawan pemerintah pusat bermula pada keinginan sebagian besar politisi dan masyarakatnya untuk menjadikan putra daerahnya sebagai gubernur. Keinginan ini sudah lama diartikulasikan oleh para politisi daerah dan menemukan momentumnya pada bulan September 1985, yang waktu itu Ismail Suko adalah putra daerah yang menjadi salah satu calon gubernur, karena Imam Munandar sudah menyelesaikan satu periode dan akan memasuki periode kedua. Ismail Suko pada waktu itu menjabat sebagai Sekretaris Dewan. Sekalipun jabatannya hanya Sekwan, Ismail punya dukungan yang kuat, baik di DPRD maupun masyarakat luas. Dua entitas inilah yang mempunyai peran penting dalam mendesak pemerintah pusat untuk mendukung Ismail. Kuatnya arus dukungan dari DPRD nampak ketika anggota DPRD melakukan kudeta terharap Imam Munandar yang mendapat dukungan dari Golkar, Beni Murdani dan Soeharto namun dalam pemilihan DPRD memenangkan Ismail Suko. Sembilan belas orang dari Golkar membelok dan memberikan suaranya untuk Ismail Suko. Ismail Suko menang dalam proses demokrasi prosedural. Kemenangan secara demokratis ini mendapat penolakan yang serius dari pemerintah. Dengan segala cara pemerintah pusat termasuk Beni Murdani dan Soeharto waktu itu menekan daerah supaya Ismail Suko mengundurkan diri. Bahkan dengan menghalalkan segala cara pun dilakukannya. Misalnya dengan menggunakan kekuatan militer, polisi dan termasuk berbagai aksi premanisme untuk meneror, menekan sampai mengancam dengan senjata.
Perilaku penggunaan kekerasan semacam ini membuat dendam politik Orang Melayu terhadap Jakarta. Bagi penulis peristiwa politik Riau bisa dipandang sebagai ‘pemberontakan’ terhadap pusat di bawah rezim yang represif waktu itu, Riau berani ‘melawan’ kehendak pusat dan mendukung ‘putra daerah’ sebagai calonnya sendiri. Atau bisa juga kita tafsirkan sebagai ekspresi kekesalan masyarakat lokal terhadap kesewenang-wenangan pemerintah pusat.

c.   Isu Putra Daerah di Kalimantan Barat
Semenjak reformasi digulirkan di Kalimantan Barat terjadi kebangkitan politik etnisitas yang diperankan antar elit Dayak dan Melayu. Kebangkitan dan keberhasilan etnis Dayak membuat etnis Melayu cemas. Mereka khawatir akan ditinggal-dimusuhi dan dilewati oleh orang-orang Dayak yang sedang bergerak menuntut supaya putra daerah menjadi pemimpin kepala daerah. Tuntutan ini meskipun pada awalnya datang dari etnis Dayak namun dikalangan Melayu juga memberikan respon yang sama. Kesamaan persepsi dan tujuan pada pembuat kebijakan dikalangan elit politik, akhirnya dari kedua etnis tersebut memutuskan untuk membagi kekuasaan, khususnya jabatan bupati untuk masing-masing etnis. Jadi, terdapat power sharing dalam menjalankan pemerintahan. Dalam prakteknya, apabila orang Dayak menjadi bupati, maka orang Melayu ditempatkan sebagai wakilnya, begitu pula sebaliknya. Hal ini sudah terjadi di Kabupaten Sintang dan Ketapang. Penjelasan yang sama juga dibenarkan Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) dalam bukunya politik Lokal di Indonesia yang mengemukakan bahwa:
“Semenjak pemilihan Bupati 1999 telah terjadi power sharing antara orang-orang Melayu dan Dayak. Kedua kelompok etnis berhasil mencapai kesepakatan mengenai daerah kuasa mereka masing-masing. Dalam kabupaten yang mempunyai satu kelompok etnis dominan, bupatinya berasal dari kelompok etnis tersebut. Itulah yang terjadi di Bengkayang dan Landak yang didominasi Dayak, dan di Sambas dan pontianak yang didominasi Melayu. Di kabupaten-kabupaten dengan komposisi etnis berimbang, misalnya di Ketapang dan Kampuas Hulu, yang diharapkan adalah kepemimpinan campuran”.

Sementara pengamat yang lain mengatakan, bahwa di Sanggau, Bengkayang dan Pontianak ada asumsi yang berkembang bahwa kalau pemerintahan dipegang oleh orang Dayak-Melayu, segala urusan bisa selesai. Dari penjelasan ini jelas bahwa yang terjadi adalah perimbangan etnisitas. Sebuah solusi politik jangka pendek, yang dalam perjalanannya menemukan beberapa kendala. Ambil contoh pada bulan Oktober 1999, sebelum pemilihan Anggota Faksi Urusan Daerah di MPR sudah ada kesepakatan untuk memilih dua orang Melayu, dua orang Dayak dan satu dari etnis China. Pembagian diyakini sebagai cerminan jumlah suku dan kekuatan masing-masing di Kalbar. Namun apa yang terjadi? Yang terpilih adalah orang Dayak Islam di kalangan Dayak. Akibatnya, gedung DPRD di Pontianak di demo dan nyaris dibakar. Orang Melayu dan Dayak bentrok. Untungnya kerusuhan ini dapat dipadamkan dan tidak disebarluaskan.

d.   Isu Putra Daerah di Kalimantan Tengah
Fenomena yang terjadi di Kalimantan Barat juga terjadi di Kalimantan Tengah. Hanya saja penguatan politik etnisitas di Kalimantan Tengah dimonopoli oleh etnis Dayak untuk menghalau orang pendatang. Karena itu isu putra daerah dikampanyekan secara massif. Hal ini terjadi karena orang-orang Dayak merasa disingkirkan secara sistematis yang notabene ‘penduduk asli’ Kalteng. Bahkan orang-orang Dayak dibuat sedemikian rupa untuk tinggal dan menjadi penonton ketika alam dan kampung halaman mereka dijarah oleh pemimpin yang datang dari luar. Karena itu ide agar putra daerah menjadi tuan di kampung sendiri menjadi suatu keharusan sejarah. Implementasi tentang pentingnya putra daerah menjadi pemimpin menyebar begitu cepat di kawasan Kalteng. Bahkan masyarakat Dayak dengan gagah perkasa menggugat dan menolak eksistensi Warsito Rusman menjadi gubenur Kalteng, itu dikarenakan selain dipaksakan dari atas, juga tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Kalteng. Karena itu tampilnya Teras Narang selaku Gubernur Kalteng tidak hanya disambut dengan suka duka karena memenuhi hajak orang Dayak tetapi juga merupakan babakan baru untuk melebarkan penguasaan jabatan-jabatan bupati oleh putra daerah di beberapa kabupaten. Di Kota Waringin Barat (Kobar) geliat putra daerah sangat kencang diperjuangkan. Harian Kalteng Post memberitakan: “berikan kesempatan kepada putra daerah Kobar untuk menjadi pemimpin di daerahnya sendiri’. Selanjutnya, “tokoh masyarakat yang bertemu Pangdam Mayjen SM Suwisma, meminta agar mengabulkan dan merestui keinginan masyarakat Kobar yang menghendaki seorang pemimpin bupati dari putra daerah”. Pemaksaan kehendak untuk menampilkan putra daerah dinilai sangat emosional dan sentimen kedaerahan sangat menonjol dalam mengikuti ritme proses-proses politik di tingkat lokal. Keinginan untuk menaklukan kekuasaan begitu besar pengaruhnya dalam dinamika lokal di Kalteng. Hanya saja yang perlu diwaspadai adalah muncul petualang politik yang ikut bermain dengan mengobarkan semangat era putra daerah.

e.   Isu Penguasaan Sumber Daya Ekonomi
Perkembangan ekonomi pasar berskala global dewasa ini telah mendorong berbagai kelompok masyarakat kembali bernaung dalam ikatan tradisi dan solidaritas yang lingkupnya lebih kecil. Misalnya kesukuan, agama, kedaerahan dan berbagai golongan berdasarkan strata ekonomi. Mereka muncul dan mengekspresikan tuntutannya tanpa kompromi, melawan segara objek atau kekuasaan yang dianggap menganggu kelangsungan hidupnya. Untuk kasus Kalimantan Barat yang mayoritas masyarakatnya etnis Dayak telah lama melakukan perlawanan terhadap perusahaan. Sentimen etnis Dayak terhadap perusahaan yang mengesploitasi hutan sudah berlangsung. Bahkan perlawanannya pun dengan menggunakan kekerasan sebagaimana ditulis oleh Pratikno. Pertama, melalui pengrusakan dan pembakaran base camp, jembatan dan fasilitas perusahaan oleh masyarakat setempat ketika pemerintah daerah dan PT Lingga Tejawana tidak peduli dengan tuntutan mereka. Kedua, pembakaran kantor utama, gudang, perumaham karyawan, bengkel, generator dan alat-alat berat, milik PT Bantana Jiaya karena tidak kunjung merealisasikan janji mereka terkait dengan pelibatan warga dalam penanaman sawit dan kredit kepada masyarakat. Karakter keras orang-orang Dayak dalam mengekspresikan tuntutannya sangat berbeda dengan masyarakat Riau. Perjuangan masyarakat Riau untuk mendapatkan hak-hak ekonomi yang lebih adil dilakukan dengan cara terorganisir dan damai. Meskipun pemintaannya tidak mudah dikabulkan oleh pemerintah pusat tetapi semangat dan tekanan lokal terus dilakukan untuk memaksa pusat merealisasikan permintaannya. Hasilnya cukup mengesankan dalam RAPBD Riau 1999 mendapat 251 miliar meningkat pada tahun 2000 menjadi 756 miliar. Seiring dengan berjalannnya waktu di bawah kepemimpinan sang putra daerah Saleh Djasit pemasukan Riau bertambah besar yakni 3,9 triliuan. Pemasukan ini sangat wajar dan cukup berasalan karena Riau adalah salah satu daerah kaya sumberdaya alamnya.


4.2  Implikasi Menguatnya Politik Identitas terhadap Eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki peran yang cukup vital apabila dia tidak hanya diposisikan sebagai sebuah semboyan, melainkan sebuah cita-cita yang diresapi, dihayati, untuk kemudian diimplementasikan oleh segenap bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai semboyan Negara, yang diangkat dari penggalan kakawin Sutasoma mahakarya dari Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu. Semboyan ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara alamiah, dan sosial-kultural dibangun atas dasar keanekaragaman.
Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut diharapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berhasil mewujudkan integrasi nasional di tengah masyarakatnya yang majemuk. Di samping itu, semboyan tersebut diharapkan mampu menjadi nafas perjuangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sehingga, Indonesia tidak hanya dikenal sebagai bangsa yang multikultural, akan tetapi dikenal sebagai bangsa yang mampu mengelola multikulturalnya untuk mencapai tujuan nasional.
Apabila dibenturkan dengan fenomena kekinian, maka kebhinnekaan Indonesia sangat erat kaitannya dengan isu politik identitas. Penteorian terkait politik identitas memiliki jenis dan ragam yang cukup banyak terkait perspektif apa yang digunakan oleh ahli yang mendefinisikannya. Namun, dalam pembahasan ini, penulis cenderung merujuk pada pembahasan politik identitas pada ranah praksis atau operasional. Hal tersebut dilakukan oleh penulis mengingat isu politik identitas semakin menguat yang diaktualisasikan secara implisit melalui pesta-pesta demokrasi rakyat. Dalam hal ini yang menjadi rujukan yaitu partai-partai politik yang saat ini menjadi sebuah wadah yang cukup massif bagi masyarakat untuk bereksistensi sebagai warga negara yang partisipatif.
Seperti kita ketahui, partai politik menjadi bagian dari infrastruktur politik dalam era reformasi ini. Partai politik memberikan warna tersendiri bagi dinamisasi perpolitikan di Indonesia dan mampu memberikan ruang bagi warga masyarakat yang memilih untuk menjadi input yang tepat bagi sistem politik Indonesia. Dalam perjalanannya, partai politik mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama yang paling dapat diukur adalah dari segi kuantitas. Jumlah partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum semakin meningkat, hingga dapat kita rasakan kertas pemilihan umum hampir seukuran koran, dan tidak jarang semakin membuat bingung bagi para pemilih. Tetapi hal tersebut sepertinya tidak berlaku pada pemilihan umum yang akan datang, karena terdapat perubahan dari electoral treshold menjadi parliamentary treshold sebesar 3,5%.
Terlepas dari itu, terkait kuantitas maupun perubahan sistem pemilihan umum bukan menjadi fokus pembahasan yang akan dikemukakan oleh penulis. Dalam hal ini, penulis cenderung tertarik untuk mengulas latar belakang pendirian sebuah partai politik. Dalam arti, seseorang mendirikan partai politik ataupun bergabung dalam sebuah partai politik dilatarbelakangi oleh persamaan agama, suku, ras, budaya, daerah asal, atau didasari atas profesionalitas karena adanya kesesuaian ideologi maupun asas partai. Seringkali kita jumpai topik yang diusung dalam sebuah kampanye, baik pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan anggota legislatif, tidak mengusung isu-isu profesionalitas terkait peningkatan kinerja, peningkatan kualitas pelayanan, transparansi anggaran, perbaikan kualitas manajemen sumber daya manusia, maupun lainnya. Akan tetapi, peserta (calon) beserta tim suksesnya, cenderung tertarik untuk memunculkan isu-isu primordialisme maupun etnosentrisme. Bahkan, terdapat pula beberapa partai politik yang didirikan atas dasar persamaan golongan agama. Misalnya saja, mereka yang beragama Islam mendirikan partai politik yang berasaskan nilai-nilai islam dan diaktualisasikan menggunakan simbol-simbol Islam yang sangat kental. Demikian pula bagi mereka yang berasal dari suku tertentu, dapat mengatasnamakan sukunya untuk menggalang dukungan dalam berkampanye politik. Tentu saja bagi masyarakat yang masih berbudaya politik dalam kategori subyek maupun kawula, masih sulit untuk menilai secara obyektif tentang eksistensi sebuah partai politik. Sehingga akan sangat mudah bagi mereka untuk menentukan pilihan atas dasar kesamaan yang dimiliki tanpa pertimbangan yang cukup rasional.
Gb. 1. Poster Kampanye Calon Anggota DPRD


Beragamnya partai politik dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas mampu memberikan kontribusi tersendiri bagi sistem politik Indonesia. Secara sederhana, terdapat dua implikasi yang ditimbulkan dari hal tersebut. Pertama, implikasi positif yang ditimbulkan yaitu mampu mengartikulasikan keberagaman yang ada di Indonesia, sehingga aspirasi masyarakat dari beraneka agama, suku, budaya, maupun daerah dapat terakomodir melalui partai politik tersebut. Kedua, implikasi negatif yaitu semakin menguatnya politik identitas yang ditunjukkan oleh beberapa calon yang mengusung identitas yang dimilikinya demi tercapainya kepentingan politis. Tanpa manajemen yang baik, politik identitas akan sampai pada bentuk ekstrimnya yaitu disintegrasi.
Berbicara tentang politik identitas tentu saja tidak dapat dilepaskan dari semboyan bangsa indonesia yang sekaligus menjadi salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Perlu menjadi kewaspadaan bahwa menguatnya isu politik identitas menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat plural yang terlanjur lekat dan nyaman dengan ego sektoral mereka akan semakin mengenyampingkan tujuan bersama, karena mereka berlomba-lomba untuk mewujudkan tujuan golongan masing-masing. Kebhinnekaan akan semakin mendekatkan bangsa Indonesia pada pola disintegrasi, karena ada indikasi pengabaian pada tujuan yang satu. Akibatnya semboyan yang digagas oleh Mpu tantular tersebut hanya akan menjadi slogan yang menghiasi di setiap ruang maupun buku-buku yang bertemakan nasionalisme ke-Indonesiaan. Pengejawantahan semboyan tersebut yang diharapkan mampu membawa bangsa Indonesia menuju cita-cita luhurnya akan semakin menjadi utopis apabila bangsa ini tidak mampu menyikapi secara bijak terhadap isu politik identitas.


4.3  Mengubah Ancaman Menjadi Peluang untuk Menjamin Masa Depan Bhineka Tunggal Ika sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Berdasarkan Survey Kehidupan Bernegara (SKB) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 27-29 Mei 2011, ditemukan bahwa persentase masyarakat yang mengetahui tentang NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara hanya sekitar 67-78 persen. Dari hasil Survey yang dilakukan di 181 kabupaten/kota, di 33 propinsi, di seluruh Indonesia yang melibatkan 12.056 responden ini tampak bahwa masyarakat Indonesia memiliki wawasan kebangsaan yang minim.
Minimnya pemahaman dan ketidakpedulian masyarakat Indonesia tentang empat pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara, terkhusus NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan kebangsaan di negeri ini. Seperti yang terjadi belakangan ini, seperti tawuran antar pelajar, pelajar yang mengeroyok pekerja pers, pengeboman rumah ibadah, perselisihan antar kelompok masyarakat, antar golongan, antar agama, dan antar etnis. Beberapa permasalahan tersebut apabila dirangkum menjadi satu akan merujuk pada tercederainya semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Menyikapi permasalahan tersebut, tentu saja sebagai warga negara yang tinggal menikmati dan melanjutkan perjuangan pahlawan kemerdekaan, kita dilarang untuk hanya diam. Karena kita tidak menginginkan apa yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan menjadi sesuatu yang sia-sia. Bahkan bukan penjajah yang menghancurkannya, akan tetapi saudara setanah air yang telah dibutakan oleh ego sektoralnya. Beberapa upaya yang dapat diaplikasikan untuk menjamin eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara antara lain:

4.     Pemasyarakatan pemahaman dan aplikasi wawasan kebangsaan
Talcott Parsons (1951) mengenai teori sistem, mengemukakan bahwa wawasan kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada tataran sub-sistem budaya. Dalam tataran ini wawasan kebangsaan dipandang sebagai way of life atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya. Jadi, sebenarnya setiap masyarakat Indonesia haruslah menjadikan wawasan kebangsaan sebagai tolok ukur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena jika tidak, maka setiap masyarakat Indonesia akan cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, sehingga berdampak buruk terhadap keutuhan bangsa.
Peranan wawasan kebangsaan dalam mewujudkan keutuhan bangsa tidak terlepas dari empat pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena melalui empat pilar tersebut –Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika –maka segala perbedaan(agama, etnis, golongan, dan letak daerahnya) dapat dipersatukan demi keutuhan bangsa.
Oleh karena itu untuk menumbuhkembangkan cita-cita NKRI maka diperlukan pemahaman tentang wawasan kebangsaan dari masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan pengaruh rasa nasionalisme masyarakat Indonesia sebagai wujud dari wawasan kebangsaan sangat menentukan keutuhan bangsa. Dengan demikian salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah merevitalisasi wawasan kebangsaan melalui pemasyarakatan wawasan kebangsaan.
Pemasyarakatan wawasan kebangsaan merupakan pemberian pemahaman kepada seluruh warga Negara Indonesia tentang kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berlandaskan empat pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bertujuan supaya membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia dengan menghargai pluralisme bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pemasyarakatan wawasan kebangsaan dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakat Indonesia. Misalnya melalui media massa (cetak maupun elektronik) dan pemberian pendidikan wawasan kebangsaan (lokakarya, seminar, dan lainnya). Selanjutnya, pemasyarakatan wawasan kebangsaan dalam rangka mewujudkan keutuhan bangsa dapat dilakukan melalui keteladanan para pemimpin bangsa ini. Para pejabat pemerintah yang mengemban amanat rakyat haruslah bekerja dengan penuh integritas. Sehingga melalui keteladanan tersebut, masyarakat semakin optimis dalam kehidupannya berbangsa dan bernegara.
5.     Penerapan Demokrasi Konsosiasional
Demokrasi memang bukan menjadi sistem pemerintahan terbaik, namun hingga saat ini para ahli belum menemukan sistem pemerintahan yang jauh lebih baik dari demokrasi. Demokrasi memiliki beberapa jenis, namun demokrasi yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah demokrasi konsosiasional.
Demokrasi konsosiasional lebih mengutamakan nilai konsensus untuk menjaga keutuhan bangsa yang plural. Bagi bangsa dan negara yang sedang membangun, pluralitas sosial dan keragaman budaya yang tinggi dapat menjadi ancaman dan tantangan yang sangat serius untuk tetap menjaga integrasi bangsa. Model demokrasi ini mengutamakan pemberian ruang terhadap keanekaragaman kehidupan sosial, budaya, dan unit politik lokal.
Jika dikatakan bahwa demokrasi memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi masyarakat untuk bereksistensi, maka terkadang timbul keresahan atau ketakutan apabila masyarakat terjebak pada euphoria kebebasan, sehingga terkadang disadari maupun tidak, kebebasan tersebut mengurangi bahkan mencederai hak orang lain. Akibatnya, terdapat beberapa pihak yang merasa termarginalkan atau menjadi kelompok minoritas. Oleh karena itu, demokrasi konsosiasional hadir untuk memberikan solusi bagi pelaksanaan demokrasi dengan tetap menghargai perbedaan.

6.     Mengedepankan Etika Identitas
Kebebasan individu dalam mengaktualisasikan identitasnya dalam setiap gerakan dibatasi oleh etika untuk menghindari terjadinya gesekan-gesekan antar indentitas yang sangat majemuk. Kebebasan yang beretika dilakukan dengan memperhatikan dan menghargai agensi etis setiap individu yang mengacu pada nilai-nilai etis. Agensi etis memiliki dua kapasitas, yaitu kapasitas untuk hidup secara otonom dengan menjunjung pilihan hidup masing-masing, dan kapasitas untuk berkontribusi pada keadilan.
Pengedepanan etika identitas bertujuan sebagai boudary (bingkai/batas-batas) bagi masyarakat yang menginginkan eksis dengan identitasnya. Hal tersebut diperbolehkan, asalkan dapat menyesuaikan dengan norma etis untuk menjamin ketentraman hidup berbangsa dan bernegara.
                                                                     

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
 Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1.  Politik identitas dapat dikatakan sebagai salah satu eksternalitas dari kebhinnekaan Indonesia. Isu politik identitas menjadi warna tersendiri pada aktivitas politik di beberapa daerah di Indonesia, terutama pada masa-masa pesta demokrasi rakyat. Terdapat peserta (calon) yang cenderung tertarik menggunakan isu-isu identitas sebagai daya tariknya untuk mencapai kepentingan politis.
2.  Menguatnya isu politik identitas menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat yang terlanjur larut dengan sifat ego sektoral akan menjauhkannya dari tujuan satu bangsa yang diamanahkan melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika hanya sekedar menjadi gugusan kata indah tanpa arah aktualisasi dan operasionalisasi yang jelas.
3.  Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah posisi isu politik identitas, dari ancaman kemudian menjadi peluang untuk mendorong optimalisasi penerapan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yaitu: 1) memasyarakatkan pemahaman dan aplikasi terkait wawasan kebangsaan, 2) menerapkan demokrasi konsosiasional, dan 3) mengedepankan etika identitas.

5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran yang dapat direkomendasikan yaitu:
1.  Bagi lembaga pendidikan baik formal maupun non formal hendaknya menyisipkan pengetahuan tentang empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara pada materi pelajaran yang akan disampaikan kepada anak didik.
2.  Mengaktualisasikan pemahaman sekaligus penerapan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam setiap momen lokal maupun nasional melalui kegiatan-kegiatan sederhana namun menyentuh substansi yang diharapkan.
3.  Perlu adanya kebijakan dari pemerintah untuk meredam berdirinya partai-partai politik yang terlalu menggembor-gemborkan isu primordialisme dan etnosentrisme yang mengarah ke isu politik identitas.



[1] Ahmad Syafii Maarif dalam “Politik Identitas dan  Masa Depan Pluralisme Indonesia”,  mendefinisikan kelompok ini MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Fron Pembela Islam), dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan yang berbeda dari 3 kelompok sebelumnya yaitu PKS mengakui adanya Demokrasi.
[2] Lihat L.A. Kaufffman,  ”The Anti-Politics of Identity,” Socialist Review, No.1, Vol. 20 (Jan.-March 1990), hal. 67-80. Analisis yang lebih komprehensif tentang politik identitas ini dapat dibaca dalam karya Amy Gutmann, Identity in Democracy (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2003), setebal 211 halaman plus catatan akhir dan indeks dalam Ahmad Syafii Maarif dalam “Politik Identitas dan  Masa Depan Pluralisme Indonesia”.

[3] Muhtar Haboddin. Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Jurnal Studi Pemerintahan Volume 3 Nomor 1 Februari 2012.
[4]Agnes Heller seperti yang dikutip Ubed Abdillah. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang:IndonesiaTera. hlm. 22.

[5] Ibid, Muhtar Habbodin
[6] Ahmad syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta, Democracy Project, 2012, halm. 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"iDesainer" 1 2 3 4