Pemuda di Ambang “Kegalauan”: Saatnya Mengubah
Wacana Menjadi Gerakan
Oleh: Nuraida Muji K. E. P.
Ahli dokumenter
sejarah telah berhasil membuat rekam sejarah hingga menjadi sebuah kotak
pandora masa perjuangan. Dari sanalah kita akan mendengar sebuah untaian kalimat
juang dari Bung Karno, “Dengan seribu orang tua aku hanya dapat bermimpi, maka
berikan aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang dunia”. Kalimat itu bukanlah
sebuah misi yang hiperbolik. Deretan aksara tersebut bukanlah sesuatu yang
indah, bukan pula sebuah maha karya yang mampu merubah dunia, akan tetapi
merupakan titik tolak dalam mengubah sebuah wacana menuju pergerakan yang
sebenarnya. Pemuda identik dengan perubahan, mewujudkan civil society dan negara yang berkesejahteraan rakyat merupakan
“pekerjaan rumah” yang menjadi agenda mendesak untuk diselesaikan. Bangsa ini
sudah terlalu kronis untuk menunggu terlalu lama. Kerinduan mendalam akan apa
yang disebut sebagai keadilan, perubahan, dan kemajuan semakin memuncak, dan
akan segera terjawab dengan “gerakan penyelamatan” dari Kaum yang disebut
PEMUDA.
Realitas
Kekinian: Keringnya Peran Pemuda Indonesia
Urgensi peran pemuda
yang diartikulasikan dalam setiap moment-moment penting, baik itu dalam rangka
kepemudaan maupun agenda nasional lainnya tentu menjadikan hal tersebut
terinternalisasi dalam diri setiap bangsa. Tidak hanya dalam lingkup nasional.
Bahkan, dalam pepatah bahasa Arab dinyatakan “Inna fi yadis syubbani amral ummah, wa fi iqdaamihaa hayaatuha”
yang artinya “Sesungguhnya di tangan pemuda urusan suatu umat, dan di dalam
kemajuan generasi muda terletak kehidupan suatu umat”. Universalitas tentang
peran pemuda tersebut akan semakin menguatkan tesis bahwa di tangan pemudalah
sebuah bangsa akan mencapai apa yang disebut sebagai cita-cita nasional.
Dalam Undang-Undang
No. 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan, dijelaskan bahwa pemuda adalah warga
negara Indonesia yang memasuki periode pertumbuhan dan perkembangan yang
berusia 16 sampai 30 tahun. Pada waktu itu,data single years BPS tahun 2009 menyebutkan, usia 16-30 tahun berjumlah
62,77 juta jiwa yang bertambah menjadi 62,92 juta jiwa pada tahun 2011.[1]
Tentu saja nominal tersebut bukan angka yang kecil jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk Indonesia tahun 21011 yang mencapai 241 juta jiwa. Lantas,
kontribusi apa yang telah diberikan demi tercapainya kesejahteraan bangsa?
Peran apa yang telah dilakukan untuk menyelamatkan hak-hak mereka yang
tertindas? Dan seberapa besar waktu yang telah diluangkan untuk memikirkan
solusi masalah kebangsaan yang tengah membelit saat ini? Kita memang tidak
dapat menisbikan keseluruhan jumlah tersebut, namun jika sejumlah basr tersebut
dapat bergerak secara massif, tentu cita-cita akan tercapainya substansi
kemerdekaan bukan lagi menjadi utopis. Namun, menjadi ironis jika terdapat data
yang menyebutkan bahwa dari dua juta pecandu narkoba dan obat-obat berbahaya
(narkoba), 90% adalah generasi muda, termasuk 25.000 mahasiswa. Sedangkan 700
siswa sisanya ditindak dengan pembinaan agar jera.
Fenomena tersebut
hanya sebagian kecil dari sekian banyak penyimpangan lainnya yang dilakukan
oleh pemuda, yang apabila disimpulkan akan berindikasi pada degradasi moral.
Hal tersebut, tentu saja kontradiktif dengan apa yang seharusnya (das sollen)
diperankan oleh pemuda. Harus diakui jika pemuda kini memiliki intelegensi
lebih tinggi, terbukti dari kemajuan Iptek dan penguasaan teori yang telah
dicapai. Tidak sedikit penemuan pesawat sederhana yang memberikan kemudahan
bagai kehidupan manusia. Tidak jarang pula kegiatan seminar, dialog, dan workshop digelar untuk meningkatkan
kapasitas intelektual dan ketajaman analisis. Namun, apabila kita sedikit
bergerak meninggalkan gemerlap kecanggihan dan kemajuan ilmu pengetahuan, jauh
di tepi sana kita akan menjumpai ketimpangan-ketimpangan yang memilukan. Masjid
dengan jama’ah hanya para orang tua renta, anak-anak di bawah umur berjualan
koran pada jam sekolah, buruh bekerja lebih dari 15 jam dengan upah jauh di
bawah UMR, pasar modern yang mulai mendesak pasar tradisional, belum lagi
“kebohongan publik” yang dilakukan elite politik terhadap masyarakat, serta
sekian fenomena yang-sekali lagi-seharusnya pemuda dapat hadir di sana, menjalankan peran dengan sekian transformasi untuk
meluruskan ketimpangan tersebut.
Sebagai golongan
elite masyarakat, dalam banyak kasus, peran pemuda sangat menentukan arah
kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982)[2],
mereka (pemuda) adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran
sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum
elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan
politik negara. Peran pemuda yang disinggung dalam pernyataan tersebut agaknya
mulai menampakkan wujudnya saat ini. Tidak sedikit pemuda yang berkiprah dalam Lembaga
Swadaya Masyarakat, partai politik, bahkan lembaga pemerintah. mereka mencoba
untuk mengaktualisasikan diri dengan menjadi bagian dari kelompok kepentingan
terorganisir.[3] Tidak
lain karena mereka ingin menyampaikan sumbangsih pemikiran dengan ideologi yang
mereka anut. Ya, sebagian besar dari mereka adalah para aktivis organisasi kepemudaan dengan idealisme kuat
bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Sejauh mana
idealisme itu dapat dipertahankan? Sekali lagi kita dihadapkan pada pilihan.
Misi kuat untuk memperbaiki birokrasi pemerintahan yang dikatakan kolutif,
nepotis, dan koruptif menjadi “melempem”. Semangat (ghirah) jiwa muda seakan menemui kegamangan dan kegalauan saat
bertemu dengan realitas yang jauh lebih kompleks, memang tidak sesederhana
konsep teoritis yang serba ideal. Akhirnya, peran yang diaktualisasikan
hanyalah sebatas peran pragmatis, transaksional, dan fragmentatif. Peran pemuda
sebagai advokator masyarakat, penyambung lidah rakyat, pejuang keadilan telah
mengalami difraksi tak tentu arah. Seperti itukah yang diharapkan?
Quo
Vadis Pemuda: Talk More, Do Most
Berbicara tentang
pemuda, tentu tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Mahasiswa sebagai salah
satu aktor yang turut mewarnai dan menggerakkan perubahan sosial yang terjadi
pada bangsa ini. Tentu saja bukan mahasiswa “KUPU-KUPU”
(kuliah-pulang-kuliah-pulang) yang penulis maksud. Akan tetapi mereka yang
eksis di organisasi kemahasiswaan (Ormawa) baik UKM maupun HMJ dengan berbagai
varian kegiatannya. Mengapa demikian? perlu diingat bahwa perguruan tinggi
memiliki apa yang disebut sebagai Tri Dharma, yaitu pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat. Sehingga pertanyaan yang muncul adalah, apakah
ketiga-tiganya dapat terealisasi hanya dengan duduk manis di bangku kuliah?
tentu saja TIDAK. Apakah Tri Dharma tersebut dapat terimplementasikan hanya
dengan penguasaan teori yang diberikan oleh dosen atau referensi perkuliahan?
tentu juga TIDAK. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah timbul sebuah kebutuhan
untuk eksistensi diri dalam organisasi kemahasiswaan. Bukan lagi diposisikan
sebagai sebuah kewajiban atau perintah, akan tetapi sudah menjadi panggilan
jiwa untuk aktif dalam Ormawa. Paling tidak, kita dapat masuk dalam sebuah
laboratorium mini kehidupan sebagai pengejawantahan konsep dan teori yang kita
dapatkan, sekaligus sebagai stretching
sebelum kita memasuki “dunia” yang sebenarnya.
Sejenak kita flash
back, sejauh ini kita melihat bahwa berbagai upaya untuk peningkatan kapasitas
intelektual terkait pengembangan wacana, pematangan konsep dan teori, penguatan
argumentasi, pengasahan nalar berfikir telah dilalui cukup optimal dalam
beberapa varian kegiatan. Namun, hal tersebut tidak dapat menjamin ketuntasan
ketika dibenturkan pada realitas sosial yang lebih praksis dan membutuhkan
tindakan konkrit. Padahal salah satu amanah dari ilmu pengetahuan adalah
terwujunya scientific validity, yaitu
adanya upaya untuk mempersempit kesenjangan antara teori dengan praktik.
Sehingga tidak jarang kita temui bahwa keberadaan para cendekiawan dan ilmuwan
muda terkadang belum mampu memberikan solusi bagi problem kehidupan. Justru
terkadang mereka datang membawa permasalahan baru bagi tatanan kehidupan
masyarakat karena teori yang sangat utopis.
Sehingga tidak
dapat dipungkiri bahwa fenomena tersebut menimbulkan kegalauan, akan dibawa kemana pemuda masa kini? Sedikit
mengutip kata Marx, bahwa “diskusi, seminar, paham teori, dan abstraksi
canggih, itu semua sudah ketinggalan zaman. Yang penting adalah proses
pemecahan masalahnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi, tindakan,
semangat, dan kegiatan itulah yang NYATA.” Jelas bahwa wacana itu perlu dan
penting sebagai modal untuk melakukan pergerakan. Namun, perlu diingat bahwa
Involusi bangsa telah sampai pada “stadium ke-4”nya. Sumber daya alam yang
dieksploitasi investor asing, anak-anak gizi buruk, anak putus sekolah,
kekerasan, kinerja birokrat yang lemah, hak buruh terabaikan, dan permasalahan
lainnya sudah berada di ujung tanduk. Sudah saatnya bagi pemuda untuk BERTINDAK.
Sudah masanya bagi pemuda untuk BERGERAK, bukan sekedar gerakan abal-abal, akan
tetapi gerakan yang bernafaskan intelektual, moral, dan spiritual.
[1]Bappenas. Data dan Informasi
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. Diambil dari http://kppo.bappenas.go.id/files/-1-Proyeksi%20Jumlah%20Pemuda.pdf.
[2] Gatot Yan S. Pemuda dan Agenda
Reformasi Bangsa. 2008. Andika Online. Penulis adalah Direktur Eksekutif LANSKAP (Lembaga Kajian dan
Advokasi Kebijakan Publik).
[3] Hary Yuswadi dan Bustami Rahman. Sistem
Sosial Budaya Indonesia. 2004, LKPM Universitas Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar