Kamis, 29 November 2012

Pemuda di Ambang Kegalauan

Pemuda di Ambang “Kegalauan”: Saatnya Mengubah
Wacana Menjadi Gerakan

Oleh: Nuraida Muji K. E. P.

Ahli dokumenter sejarah telah berhasil membuat rekam sejarah hingga menjadi sebuah kotak pandora masa perjuangan. Dari sanalah kita akan mendengar sebuah untaian kalimat juang dari Bung Karno, “Dengan seribu orang tua aku hanya dapat bermimpi, maka berikan aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang dunia”. Kalimat itu bukanlah sebuah misi yang hiperbolik. Deretan aksara tersebut bukanlah sesuatu yang indah, bukan pula sebuah maha karya yang mampu merubah dunia, akan tetapi merupakan titik tolak dalam mengubah sebuah wacana menuju pergerakan yang sebenarnya. Pemuda identik dengan perubahan, mewujudkan civil society dan negara yang berkesejahteraan rakyat merupakan “pekerjaan rumah” yang menjadi agenda mendesak untuk diselesaikan. Bangsa ini sudah terlalu kronis untuk menunggu terlalu lama. Kerinduan mendalam akan apa yang disebut sebagai keadilan, perubahan, dan kemajuan semakin memuncak, dan akan segera terjawab dengan “gerakan penyelamatan” dari Kaum yang disebut PEMUDA.
Realitas Kekinian: Keringnya Peran Pemuda Indonesia
Urgensi peran pemuda yang diartikulasikan dalam setiap moment-moment penting, baik itu dalam rangka kepemudaan maupun agenda nasional lainnya tentu menjadikan hal tersebut terinternalisasi dalam diri setiap bangsa. Tidak hanya dalam lingkup nasional. Bahkan, dalam pepatah bahasa Arab dinyatakan “Inna fi yadis syubbani amral ummah, wa fi iqdaamihaa hayaatuha” yang artinya “Sesungguhnya di tangan pemuda urusan suatu umat, dan di dalam kemajuan generasi muda terletak kehidupan suatu umat”. Universalitas tentang peran pemuda tersebut akan semakin menguatkan tesis bahwa di tangan pemudalah sebuah bangsa akan mencapai apa yang disebut sebagai cita-cita nasional.
Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan, dijelaskan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Pada waktu itu,data single years BPS tahun 2009 menyebutkan, usia 16-30 tahun berjumlah 62,77 juta jiwa yang bertambah menjadi 62,92 juta jiwa pada tahun 2011.[1] Tentu saja nominal tersebut bukan angka yang kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia tahun 21011 yang mencapai 241 juta jiwa. Lantas, kontribusi apa yang telah diberikan demi tercapainya kesejahteraan bangsa? Peran apa yang telah dilakukan untuk menyelamatkan hak-hak mereka yang tertindas? Dan seberapa besar waktu yang telah diluangkan untuk memikirkan solusi masalah kebangsaan yang tengah membelit saat ini? Kita memang tidak dapat menisbikan keseluruhan jumlah tersebut, namun jika sejumlah basr tersebut dapat bergerak secara massif, tentu cita-cita akan tercapainya substansi kemerdekaan bukan lagi menjadi utopis. Namun, menjadi ironis jika terdapat data yang menyebutkan bahwa dari dua juta pecandu narkoba dan obat-obat berbahaya (narkoba), 90% adalah generasi muda, termasuk 25.000 mahasiswa. Sedangkan 700 siswa sisanya ditindak dengan pembinaan agar jera.
Fenomena tersebut hanya sebagian kecil dari sekian banyak penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh pemuda, yang apabila disimpulkan akan berindikasi pada degradasi moral. Hal tersebut, tentu saja kontradiktif dengan apa yang seharusnya (das sollen) diperankan oleh pemuda. Harus diakui jika pemuda kini memiliki intelegensi lebih tinggi, terbukti dari kemajuan Iptek dan penguasaan teori yang telah dicapai. Tidak sedikit penemuan pesawat sederhana yang memberikan kemudahan bagai kehidupan manusia. Tidak jarang pula kegiatan seminar, dialog, dan workshop digelar untuk meningkatkan kapasitas intelektual dan ketajaman analisis. Namun, apabila kita sedikit bergerak meninggalkan gemerlap kecanggihan dan kemajuan ilmu pengetahuan, jauh di tepi sana kita akan menjumpai ketimpangan-ketimpangan yang memilukan. Masjid dengan jama’ah hanya para orang tua renta, anak-anak di bawah umur berjualan koran pada jam sekolah, buruh bekerja lebih dari 15 jam dengan upah jauh di bawah UMR, pasar modern yang mulai mendesak pasar tradisional, belum lagi “kebohongan publik” yang dilakukan elite politik terhadap masyarakat, serta sekian fenomena yang-sekali lagi-seharusnya pemuda dapat hadir di sana,  menjalankan peran dengan sekian transformasi untuk meluruskan ketimpangan tersebut.
Sebagai golongan elite masyarakat, dalam banyak kasus, peran pemuda sangat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982)[2], mereka (pemuda) adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan politik negara. Peran pemuda yang disinggung dalam pernyataan tersebut agaknya mulai menampakkan wujudnya saat ini. Tidak sedikit pemuda yang berkiprah dalam Lembaga Swadaya Masyarakat, partai politik, bahkan lembaga pemerintah. mereka mencoba untuk mengaktualisasikan diri dengan menjadi bagian dari kelompok kepentingan terorganisir.[3] Tidak lain karena mereka ingin menyampaikan sumbangsih pemikiran dengan ideologi yang mereka anut. Ya, sebagian besar dari mereka adalah para aktivis  organisasi kepemudaan dengan idealisme kuat bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Sejauh mana idealisme itu dapat dipertahankan? Sekali lagi kita dihadapkan pada pilihan. Misi kuat untuk memperbaiki birokrasi pemerintahan yang dikatakan kolutif, nepotis, dan koruptif menjadi “melempem”. Semangat (ghirah) jiwa muda seakan menemui kegamangan dan kegalauan saat bertemu dengan realitas yang jauh lebih kompleks, memang tidak sesederhana konsep teoritis yang serba ideal. Akhirnya, peran yang diaktualisasikan hanyalah sebatas peran pragmatis, transaksional, dan fragmentatif. Peran pemuda sebagai advokator masyarakat, penyambung lidah rakyat, pejuang keadilan telah mengalami difraksi tak tentu arah. Seperti itukah yang diharapkan?

Quo Vadis Pemuda: Talk More, Do Most
Berbicara tentang pemuda, tentu tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Mahasiswa sebagai salah satu aktor yang turut mewarnai dan menggerakkan perubahan sosial yang terjadi pada bangsa ini. Tentu saja bukan mahasiswa “KUPU-KUPU” (kuliah-pulang-kuliah-pulang) yang penulis maksud. Akan tetapi mereka yang eksis di organisasi kemahasiswaan (Ormawa) baik UKM maupun HMJ dengan berbagai varian kegiatannya. Mengapa demikian? perlu diingat bahwa perguruan tinggi memiliki apa yang disebut sebagai Tri Dharma, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sehingga pertanyaan yang muncul adalah, apakah ketiga-tiganya dapat terealisasi hanya dengan duduk manis di bangku kuliah? tentu saja TIDAK. Apakah Tri Dharma tersebut dapat terimplementasikan hanya dengan penguasaan teori yang diberikan oleh dosen atau referensi perkuliahan? tentu juga TIDAK. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah timbul sebuah kebutuhan untuk eksistensi diri dalam organisasi kemahasiswaan. Bukan lagi diposisikan sebagai sebuah kewajiban atau perintah, akan tetapi sudah menjadi panggilan jiwa untuk aktif dalam Ormawa. Paling tidak, kita dapat masuk dalam sebuah laboratorium mini kehidupan sebagai pengejawantahan konsep dan teori yang kita dapatkan, sekaligus sebagai stretching sebelum kita memasuki “dunia” yang sebenarnya.
Sejenak kita flash back, sejauh ini kita melihat bahwa berbagai upaya untuk peningkatan kapasitas intelektual terkait pengembangan wacana, pematangan konsep dan teori, penguatan argumentasi, pengasahan nalar berfikir telah dilalui cukup optimal dalam beberapa varian kegiatan. Namun, hal tersebut tidak dapat menjamin ketuntasan ketika dibenturkan pada realitas sosial yang lebih praksis dan membutuhkan tindakan konkrit. Padahal salah satu amanah dari ilmu pengetahuan adalah terwujunya scientific validity, yaitu adanya upaya untuk mempersempit kesenjangan antara teori dengan praktik. Sehingga tidak jarang kita temui bahwa keberadaan para cendekiawan dan ilmuwan muda terkadang belum mampu memberikan solusi bagi problem kehidupan. Justru terkadang mereka datang membawa permasalahan baru bagi tatanan kehidupan masyarakat karena teori yang sangat utopis.
Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena tersebut menimbulkan kegalauan, akan dibawa kemana pemuda masa kini? Sedikit mengutip kata Marx, bahwa “diskusi, seminar, paham teori, dan abstraksi canggih, itu semua sudah ketinggalan zaman. Yang penting adalah proses pemecahan masalahnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi, tindakan, semangat, dan kegiatan itulah yang NYATA.” Jelas bahwa wacana itu perlu dan penting sebagai modal untuk melakukan pergerakan. Namun, perlu diingat bahwa Involusi bangsa telah sampai pada “stadium ke-4”nya. Sumber daya alam yang dieksploitasi investor asing, anak-anak gizi buruk, anak putus sekolah, kekerasan, kinerja birokrat yang lemah, hak buruh terabaikan, dan permasalahan lainnya sudah berada di ujung tanduk. Sudah saatnya bagi pemuda untuk BERTINDAK. Sudah masanya bagi pemuda untuk BERGERAK, bukan sekedar gerakan abal-abal, akan tetapi gerakan yang bernafaskan intelektual, moral, dan spiritual.




[1]Bappenas. Data dan Informasi Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. Diambil dari  http://kppo.bappenas.go.id/files/-1-Proyeksi%20Jumlah%20Pemuda.pdf.
[2] Gatot Yan S. Pemuda dan Agenda Reformasi Bangsa. 2008. Andika Online. Penulis adalah Direktur Eksekutif LANSKAP (Lembaga Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik).
[3] Hary Yuswadi dan Bustami Rahman. Sistem Sosial Budaya Indonesia. 2004, LKPM Universitas Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"iDesainer" 1 2 3 4