PARADOKS TERORISME: SIMBOL
MINUS KESEPAKATAN
ARTIKEL
Diajukan untuk
mengikuti lomba Karya Tulis Ilmiah yang diadakan oleh Prodi Sosiologi
oleh
Imam
Sunarto
NIM.
100910302020
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
JEMBER
Paradoks
Terorisme: Simbol Minus Kesepakatan[1]
Paradoks Terorisme
Paradoks berasal dari akar kata bahasa Yunani, yaitu para (tantangan) dan doxa (opini).jadi paradoks merupakan
opini atau gagasan yang saling bertentangan.[2] Dengan
mengacu pada arti ini—yang kemudian bukan dengan maksud menyederhanakan—bahwa paradoks
bukan berarti selalu dikaitkan dengan makna selalu bertentangan dengan yang
umum, melainkan lebih pada kemungkinan untuk menemukan makna yang tidak pada
banalitas semata, melainkan lebih mendalam walau bukan kemudian bukan harus
tanpa dasar. Paradoks ini akhirnya bias jadi muncul pada suatu istilah, seperti
halnya istilah “terorisme”. terorisme berasal dari istilah teror yang dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perbuatan kejam/sewenang-wenang,
sementara arti kata terorisme adalah tindakan-tindakan teror.
Mungkin suatu istilah tak selalu memiliki makna yang
stagnan, karena istilah sebagai simbol merupakan ciptaan dan dan kesepakatan masyarakat secara umum seperti
dalam perspektif interaksionisme simbolik yang menganggap masyarakat adalah
mahluk yang unik karena dapat menciptakan dan memanipulasi simbol.[3]
Namun bagaimanapun bahasa akhirnya menjadi bersifat arbitrer ketika tidak semua
bahasa diciptakan pada setiap zaman, melainkan bisa menjadi lanjutan dari zaman
sebelumnya.
Terorisme: sebuah makna
Terorisme yang dimaknai sebagai perbuatan kejam dan
sewenang-wenang memberikan makna yang lebih luas dari pada sebatas peristiwa
pengeboman atau ancaman bom. Bahkan korupsi pun dapat disebut sebagai sebuah
terorisme karena begitu kejam dan sewenang-wenang perbuatan itu mengakibatkan
jutaan masyarakat mengalami derita yang tak seharusnya dialaminya.
Munculnya terorisme adalah karena Negara yang tidak mampu
memberikan perlindungan
terhadap seluruh warganya, dalam artian bukan hanya yang mayoritas namun yang
juga minoritas, baik sebagai sebuah kelompok identitas atau masing-masing
individu pada khususnya. Seringkali negara tak berdaya untuk
menjamin pelindungan dan kebebasan warganya sendiri dari ancaman teroris, lepas
apakah negara punya
alibi religius dan nasionalis atau tidak.[4] Jika Negara tidak mampu memberikan
jaminan perlindungan kepada semua warganya, maka terorisme tidak akan pernah
selesai. Namun bagaimanapun masyarakat yang tak pernah bosan disuguhi tentang
makna terorisme yang selalu dilekatkan pada ancama bom atau peristiwa
pengeboman—bahkan ketika hal itu tidak terbukti dilakukannya, apalagi dengan
simbol-simbol yang dekat sekali dengan islam, sehingga tak jarang stigma islam
sebagai teroris, khususnya islam garis keras, lalu bagaimana dengan misalkan
Israel yang bahkan begitu nyata melakukan bombardir terhadap Palestina yang
dari sudut pandang manapun sulit untuk dibenarkan. Sebegitu responsive kah
Negara kita terhadap ancaman yang demikian sehingga sering kali terjadi salah
tangkap dan hanya berakhir pada tuduhan yang tak masuk akal. Mungkin kita
melupakan aksi teror yang lain yang tak juga kunjung selesai sampai detik ini,
yaitu korupsi, bukan hanya puluhan atau ratusan orang yang menjadi korban,
namun mungkin mencapai jutaan.
Terorime sebagai perlawanan
kelas
Apakah masyarakat dengan kelas bawah tidak sadar akan
posisi kelasnya? atau kelas atas itu bukan kelas yang perlu dimusuhi karena
bagaimanapun kita yang mengakui akan keberadaan kelas itu, atau kesadaran itu
mereka tunjukkan dengan tindakan radikal
sebagai bentuk perlawanannya. Bagaimanapun ini merupakan perlawanan kelas, kelas yang berbeda. baik
kelas yang mendominasi atau didominasi yang mungkin hal ini berkaitan dengan
alienasi sosial oleh suatu kelompok tertentu. Tapi yang perlu dipahami adalah
kondisi demikian bukan terjadi secara serta-merta, melainkan menjadi konstruksi
sosial yang tak pernah selesai.
Tak pernah ada kesepakatan akan makna dari istilah
terotisme, atau suguhan media dan gerak tergesa-gesa pemerintah terhadap kasus
ancaman bom dan peristawa pengeboman menjadi hal yang perlu dicurigai sebagai
sebuah keadaan yang bukan menjadi keharusan. Proses yang menggelapkan sisi-sisi
teror yang lain dan menjadi semakin terpusat. Akhirnya jika kembali pada makna
yang demikian, sungguh betapa terorisme itu menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap
mereka yang merasa nyaman dengan status
quo itu. Mereka yang merasa terdiskriminasi, tertindas, tereksploitasi,
dst. Tapi bukankah hal itu ada penyebabnya, ada mereka yang mendiskriminasi,
mereka yang menindas dan mereka yang mengeksploitasi, dst. Hingga akhirnya mengkaji
ulang terhadap istilah terorisme menjadi sebuah kewajiban, agar kita tidak tersesat
dengan makna yang semakin disederhanakan namun tidak begitu relevan. Seharusnya
perbedaan itu ada untuk saling melengkapi, bukan untuk saling menindas dan
berebut, apalagi dilakukan dengan aksi teror.
Motivasi Ingin
Mengikuti Makrab
Makrab, seperti kepanjangannya
yaitu malam keakraban, saya bermaksud ingin menjalin keakraban itu dengan para
calon sosiolog seperti kita, bertukar pengalaman dan gagasan dengan mereka
yang—mungkin—tidak sama dengan kita, sehingga saya pribadi berharap mendapatkan
pengalaman dan gagasan baru dari teman-teman sosiologi se-Jatim. Selain itu
saya tertarik dengan tema yang diangkat yaitu: Solidaritas di atas multikulturalisme almamater, karena bagaianapun
ini adalah agenda yang tidak sederhana dengan melibatkan mahasiswa sosiologi
se-Jatim, dengan tema yang demikian tentu akan menjadi wacana umum dalam
memaknai keberagaman almamater sebagai simbol yang ada pada masing-masing
Perguruan Tinggi dalam memaknai dan membangun solidaritas tersebut. Mubadzirlah kemudian jika kesempatan seperti ini
terlewatkan begitu saja tanpa sedikit mencicipinya untuk hanya sekedar
menikmati atau menambahkan gula untuk rasa yang lebih manis.
Ada semangat zaman yang mungkin berbeda dalam berbagai
daerah khususnya, dan juga konsentrasi sosiologi untuk masing-masing wilaya
biasanya menunjukkan ciri daerah wilayahnya, seperti sosiologi universitas
jember dengan tiga peminatannya yaitu pertanian, maritime dan lingkungan
kebencanaan. Mungkin akan berbeda dengan sosiologi di daerah lain. Hal ini akan
menambah wawasan saya pribadi khususnya dengan mungkin kemudian ada forum
berbagi pengalaman disana.
Daftar Pustaka
Derrida, Jacques. 2005. Kosmopolitanisme & Forgiveness. Yogyakarta: Alenia
Johnson, Doyle, Paul. 1981. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern,
(“Sociological
Teory”)
Univercity of South Florida, diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang. Jakarta: PT.
Gramedia.
Maliki, Zainuddin. 2003, Narasi Agung (Tiga Teori Sosial Hegemoni). Surabaya:
LPAM.
Subangun, Emmanuel. 2004. Negara Anarkhi.Yogyakarta: LKiS.
[1] Oleh imam sunarto, mahasiswa
sosiologi fisip universitas jember angkatan 2010
[3] Doyle Paul Johnson dalam Teori Sosiologi Klasik dan Modern
[4] Jacques
Derrida dalam Kosmopolitanisme &
Forgiveness. 2005. Hal. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar