Kamis, 06 Desember 2012

PARADOKS TERORISME




PARADOKS TERORISME: SIMBOL MINUS KESEPAKATAN

ARTIKEL
Diajukan untuk mengikuti lomba Karya Tulis Ilmiah yang diadakan oleh Prodi Sosiologi

oleh
Imam Sunarto
NIM. 100910302020


PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
                                           UNIVERSITAS JEMBER                 
2012
Paradoks Terorisme: Simbol Minus Kesepakatan[1]
Paradoks Terorisme
Paradoks berasal dari akar kata bahasa Yunani, yaitu para (tantangan) dan doxa (opini).jadi paradoks merupakan opini atau gagasan yang saling bertentangan.[2] Dengan mengacu pada arti ini—yang kemudian bukan dengan maksud menyederhanakan—bahwa paradoks bukan berarti selalu dikaitkan dengan makna selalu bertentangan dengan yang umum, melainkan lebih pada kemungkinan untuk menemukan makna yang tidak pada banalitas semata, melainkan lebih mendalam walau bukan kemudian bukan harus tanpa dasar. Paradoks ini akhirnya bias jadi muncul pada suatu istilah, seperti halnya istilah “terorisme”. terorisme berasal dari istilah teror yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perbuatan kejam/sewenang-wenang, sementara arti kata terorisme adalah tindakan-tindakan teror.
Mungkin suatu istilah tak selalu memiliki makna yang stagnan, karena istilah sebagai simbol merupakan ciptaan dan  dan kesepakatan masyarakat secara umum seperti dalam perspektif interaksionisme simbolik yang menganggap masyarakat adalah mahluk yang unik karena dapat menciptakan dan memanipulasi simbol.[3] Namun bagaimanapun bahasa akhirnya menjadi bersifat arbitrer ketika tidak semua bahasa diciptakan pada setiap zaman, melainkan bisa menjadi lanjutan dari zaman sebelumnya.
Terorisme: sebuah makna
Terorisme yang dimaknai sebagai perbuatan kejam dan sewenang-wenang memberikan makna yang lebih luas dari pada sebatas peristiwa pengeboman atau ancaman bom. Bahkan korupsi pun dapat disebut sebagai sebuah terorisme karena begitu kejam dan sewenang-wenang perbuatan itu mengakibatkan jutaan masyarakat mengalami derita yang tak seharusnya dialaminya.
Munculnya terorisme adalah karena Negara yang tidak mampu memberikan perlindungan terhadap seluruh warganya, dalam artian bukan hanya yang mayoritas namun yang juga minoritas, baik sebagai sebuah kelompok identitas atau masing-masing individu pada khususnya. Seringkali negara tak berdaya untuk menjamin pelindungan dan kebebasan warganya sendiri dari ancaman teroris, lepas apakah negara punya alibi religius dan nasionalis atau tidak.[4] Jika Negara tidak mampu memberikan jaminan perlindungan kepada semua warganya, maka terorisme tidak akan pernah selesai. Namun bagaimanapun masyarakat yang tak pernah bosan disuguhi tentang makna terorisme yang selalu dilekatkan pada ancama bom atau peristiwa pengeboman—bahkan ketika hal itu tidak terbukti dilakukannya, apalagi dengan simbol-simbol yang dekat sekali dengan islam, sehingga tak jarang stigma islam sebagai teroris, khususnya islam garis keras, lalu bagaimana dengan misalkan Israel yang bahkan begitu nyata melakukan bombardir terhadap Palestina yang dari sudut pandang manapun sulit untuk dibenarkan. Sebegitu responsive kah Negara kita terhadap ancaman yang demikian sehingga sering kali terjadi salah tangkap dan hanya berakhir pada tuduhan yang tak masuk akal. Mungkin kita melupakan aksi teror yang lain yang tak juga kunjung selesai sampai detik ini, yaitu korupsi, bukan hanya puluhan atau ratusan orang yang menjadi korban, namun mungkin mencapai jutaan.
Terorime sebagai perlawanan kelas
Apakah masyarakat dengan kelas bawah tidak sadar akan posisi kelasnya? atau kelas atas itu bukan kelas yang perlu dimusuhi karena bagaimanapun kita yang mengakui akan keberadaan kelas itu, atau kesadaran itu mereka tunjukkan dengan tindakan radikal  sebagai bentuk perlawanannya. Bagaimanapun ini merupakan  perlawanan kelas, kelas yang berbeda. baik kelas yang mendominasi atau didominasi yang mungkin hal ini berkaitan dengan alienasi sosial oleh suatu kelompok tertentu. Tapi yang perlu dipahami adalah kondisi demikian bukan terjadi secara serta-merta, melainkan menjadi konstruksi sosial yang tak pernah selesai.
Tak pernah ada kesepakatan akan makna dari istilah terotisme, atau suguhan media dan gerak tergesa-gesa pemerintah terhadap kasus ancaman bom dan peristawa pengeboman menjadi hal yang perlu dicurigai sebagai sebuah keadaan yang bukan menjadi keharusan. Proses yang menggelapkan sisi-sisi teror yang lain dan menjadi semakin terpusat. Akhirnya jika kembali pada makna yang demikian, sungguh betapa terorisme itu menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap mereka yang merasa nyaman dengan status quo itu. Mereka yang merasa terdiskriminasi, tertindas, tereksploitasi, dst. Tapi bukankah hal itu ada penyebabnya, ada mereka yang mendiskriminasi, mereka yang menindas dan mereka yang mengeksploitasi, dst. Hingga akhirnya mengkaji ulang terhadap istilah terorisme menjadi sebuah kewajiban, agar kita tidak tersesat dengan makna yang semakin disederhanakan namun tidak begitu relevan. Seharusnya perbedaan itu ada untuk saling melengkapi, bukan untuk saling menindas dan berebut, apalagi dilakukan dengan aksi teror.



Motivasi Ingin Mengikuti Makrab
Makrab, seperti kepanjangannya yaitu malam keakraban, saya bermaksud ingin menjalin keakraban itu dengan para calon sosiolog seperti kita, bertukar pengalaman dan gagasan dengan mereka yang—mungkin—tidak sama dengan kita, sehingga saya pribadi berharap mendapatkan pengalaman dan gagasan baru dari teman-teman sosiologi se-Jatim. Selain itu saya tertarik dengan tema yang diangkat yaitu: Solidaritas di atas multikulturalisme almamater, karena bagaianapun ini adalah agenda yang tidak sederhana dengan melibatkan mahasiswa sosiologi se-Jatim, dengan tema yang demikian tentu akan menjadi wacana umum dalam memaknai keberagaman almamater sebagai simbol yang ada pada masing-masing Perguruan Tinggi dalam memaknai dan membangun solidaritas tersebut. Mubadzirlah kemudian jika kesempatan seperti ini terlewatkan begitu saja tanpa sedikit mencicipinya untuk hanya sekedar menikmati atau menambahkan gula untuk rasa yang lebih manis.
Ada semangat zaman yang mungkin berbeda dalam berbagai daerah khususnya, dan juga konsentrasi sosiologi untuk masing-masing wilaya biasanya menunjukkan ciri daerah wilayahnya, seperti sosiologi universitas jember dengan tiga peminatannya yaitu pertanian, maritime dan lingkungan kebencanaan. Mungkin akan berbeda dengan sosiologi di daerah lain. Hal ini akan menambah wawasan saya pribadi khususnya dengan mungkin kemudian ada forum berbagi pengalaman disana.


Daftar Pustaka
Derrida, Jacques. 2005. Kosmopolitanisme & Forgiveness. Yogyakarta: Alenia
Johnson, Doyle, Paul. 1981. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, (“Sociological
Teory”) Univercity of South Florida, diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang. Jakarta: PT. Gramedia.

Maliki, Zainuddin. 2003, Narasi Agung (Tiga Teori Sosial Hegemoni). Surabaya:
LPAM.

Subangun, Emmanuel. 2004. Negara Anarkhi.Yogyakarta: LKiS.



[1] Oleh imam sunarto, mahasiswa sosiologi fisip universitas jember angkatan 2010
[2]  Tom Jacobs untuk Pengantar Dr. Emmauel Subangun dalam Negara Anarkhi
[3] Doyle Paul Johnson dalam Teori Sosiologi Klasik dan Modern
[4] Jacques Derrida dalam Kosmopolitanisme & Forgiveness. 2005. Hal. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"iDesainer" 1 2 3 4