Sabtu, 08 Desember 2012

Dekanat di Mata Mahasiswa


Dekanat di Mata Mahasiswa: Apa kata mereka?

“Eksklusivitas Dekanat”

Pemimpin menjadi episentrum dalam sebuah organisasi, karena terdapat peran dan fungsi yang harus dijalankan untuk mendukung kapabilitas seseorang sebagai pemimpin.  Beberapa peran yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin yaitu: 1) sebagai enterpreneur, 2) sebagai penanganan kerusuhan, 3) sebagai pengalokasi sumber daya, dan 4) sebagai negosiator (Stephen Robbins). Berdasarkan peran tersebut dapat kita lihat bahwa pemimpin mempunyai andil yang sangat besar untuk menentukan arah organisasi yang diterjemahkan dalam visi misi. Walaupun tidak dapat dibenarkan apabila pemimpin dijadikan sebagai faktor utama yang menentukan tercapainya tujuan organisasi, namun harus diakui bahwa sosok pemimpin dalam sebuah lembaga menjadi simbol yang merepresentatifkan kualitas dari lembaga itu sendiri.

Gb. 1 Kriteria Pemimpin Ideal FISIP di Mata Mahasiswa FISIP

 i
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember sebagai sebuah organisasi pendidikan tentu memiliki pemimpin yang menggerakkan roda organisasi. Dekanat menjadi terminologi yang digunakan untuk menyebut sosok pemimpin FISIP, termasuk juga di fakultas lain. Dalam teori kepemimpinan, pemimpin memiliki beberapa kriteria, seperti berwibawa, proaktif dalam mencapai sasaran, percaya diri , kreatif, cakap, integritas tinggi, jujur, dan dapat dipercaya. Kriteria teoritis tersebut tidak jauh beda dengan realitas yang ada di lapangan.
Berdasarkan survey yang dilakukan terhadap 2.255 mahasiswa FISIP (kecuali angkatan 2012) yang tercatat  sebagai mahasiswa aktif oleh Lembaga Ilmiah Mahasiswa Sospol (LIMAS) FISIP Universitas Jember dengan menggunakan teknik Random Sampling, diperoleh hasil bahwa 41,7% mahasiswa FISIP menginginkan sosok pemimpin yang tegas berwibawa, 27,4% menghendaki pemimpin yang ambisius dan berorientasi keberhasilan, 13,2% menginginkan sifat pemimpin yang adaptif, sedangkan 17,6% lainnya menetapkan kriteria sendiri seperti low profile, bertanggung jawab, dan responsif. hasil tersebut menunjukkan bahwa ketegasan seorang pemimpin masih menjadi sifat yang diharapkan oleh bawahan.
Berbicara tentang sosok pemimpin, ada beberapa teori yang mengatakan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dekat dengan yang dipimpinnya, melihat secara langsung, dan berinteraksi dengan baik dengan publik yang dipimpin-disebut sebagai pemimpin transformasional. Pemimpin Tranformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan, serta memiliki kharisma. Pemimpin seperti ini mencurahkan perhatian pada kebutuhan pengikutnya, mereka mengubah kesadaran pengikut akan persoalan-persoalan dengan membantu mereka memandang masalah lama dengan cara cara baru dan mereka mampu membangkitkan serta mengilhami para pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra dalam mencapai tujuan kelompok (Stephen Robbin,62:1996).” Beberapa studi terdahulu, diantaranya pernah dilakukan federal express, dimana para pegawai menilai bahwa atasanya cenderung meperlihatkan kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan ini dinilai pegawainya memberikan kepuasan dan motivasi bekerja. Selain itu hasil penilaian didapatkan bahwa manajer tipe transformasional cenderung berprestasi tinggi. Ringkasnya kepemimpinan transformasional memiliki peluang yang lebih besar untuk mewujudkan tingkat kepuasan pegawai yang tinggi dan produktivitas yang tinggi.
Paling tidak, bawahan yang dipimpin itu tahu siapa pemimpinnya. Di FISIP, dekanat terdiri dari Dekan, Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III. Masing-masing Pembantu Dekan membawahi urusan yang berbeda-beda. Menjadi miris ketika ternyata mayoritas mahasiswa FISIP tidak mengetahui secara pasti jumlah dekanat yang memimpin FISIP. Sejumlah 5% mahasiswa FISIP mengatakan bahwa dekanat berjumlah 5 orang, 20% mengatakan bahwa dekanat berjumlah 1 orang, 42% menyebutkan bahwa dekanat berjumlah 3 orang, dan 33% lainnya menyebutkan jumlah dekanat secara tepat, yaitu 4 orang.



Gb. 2 Jumlah dekanat yang diketahui oleh mahasiswa










Cukup ironis memang jika mahasiswa minimal semester 3 tidak mengetahui berapa jumlah dekanatnya, dan sekaligus dapat kita preskripsikan sejauh mana kedekatan pemimpin dengan rakyatnya!
Gb. 3 Frekuensi tatap muka dekanat dengan mahasiswadi kampus  (di luar jam kuliah) dalam 1 minggu










Diagram tersebut setidaknya dapat membantu kita untuk mempreskripsikan pola komunikasi Dekanat dengan mahasiswa FISIP. Walaupun secara legal formal tidak ada regulasi yang menuntut Dekanat untuk berkomunikasi secara intens dan baik dengan mahasiswa, tapi hal itu telah menjadi kebutuhan non materiil yang setidaknya diusahakan untuk dipenuhi. Belum berbicara tentang komunikasi, akan tetapi masih sebatas tatap muka di kampus (di luar jam kuliah), sebanyak 57% mahasiswa menyatakan tidak pernah bertatap muka dengan dekanat dalam jangka waktu satu minggu, 34% mengatakan hanya 1 kali, 9% mengatakan sebanyak 3 kali, dan tidak ada mahasiswa yang mengatakan 5 kali bertatap muka dalam satu minggu (dalam arti hampir setiap hari).



Gb. 4 frekuensi komunikasi (tegur sapa) mahasiswa dengan dekanat (di luar jam kuliah)

Selanjutnya, lebih jauh dapat kita lihat intensitas komunikasi (tegur sapa) antara dekanat dengan mahasiswa. Cukup miris karena ternyata 53% mahasiswa mengatakan tidak pernah berkomunikasi dengan dekanat, 45% mahasiswa mengatakan jarang, sedangkan 2% lainnya mengatakan sering berkomunikasi dengan dekanat. Dalam diagram tersebut terlihat jelas bahwa intensitas komunikasi dari dekanat dengan mahasiswa sangat minim, bahkan dapat dikatakan ruang komunikasi informal sangat tertutup antara dekanat dengan mahasiswa.
Gb. 5 frekuensi pelayanan langsung dari Dekanat
Dekanat yang dapat kita posisikan sebagai aktor pelayan publik tentunya harus memberikan pelayanan prima bagi konstituennya. Minimal layanan tersebut dapat kita rasakan misalnya dalam bentuk layanan konsultasi, penandatangan berkas, dan pembukaan seremonial sebuah acara. Survey menunjukkan bahwa 54% mahasiswa mengatakan tidak pernah mendapatkan pelayanan secara langsung dari Dekanat, 44% mahasiswa mengatakan jarang, dan 2% mengatakan sering. Hal ini sedikit dapat dimaklumi karena Dekanat yang notabene berjumlah 4 orang tidak mungkin dapat secara personal melakukan layanan face to face dengan mahasiswa yang berjumlah lebih dari 2000 orang. Sehingga alternatif yang dapat dilakukan yaitu dekanat harus menjemput “kerumunan massa”, secara teknis dapat dilakukan dengan aksi “Turba”.

Gb. 6 Frekuensi "Turba" dari Dekanat
Apa yang dapat kita interpretasikan dari Gb.5 tersebut?


Istilah “Turba” yang digunakan sebagai judul diagram tersebut yaitu merupakan kepanjangan dari “turun ke bawah”. Maksudnya, seberapa sering dekanat melakukan pengamatan langsung di lapangan, terjun langsung melihat realitas yang ada di kampus, memeriksa pelayanan dan fasilitas kampus, dan mendengarkan secara langsung problematika yang dialami mahasiswa. Hasil dari survey yang dilakukan cukup mengejutkan, karena 85% mahasiswa mengatakan dekanat tidak pernah melakukan aksi “turun ke bawah”. Suara mahasiswa tersebut cukup dapat menjadi bahan landasan bahwa pola kepemimpinan yang dijalankan di FISIP sangat jauh dari kriteria kepemimpinan transformasional.

Gb. 7 Keterlibatan Mahasiswa dalam Proses Pengambilan Keputusan
Aplikasi sebuah kepemimpinan transformasional akan semakin optimal apabila didukung dengan proses yang bersifat partisipatif, yaitu dengan melibatkan masyarakat yang dipimpinnya dalam proses pengambilan keputusan. Namun, menjadi miris ketika pada realitasnya, sebanyak 76% mahasiswa mengungkapkan tidak pernah terlibat dalam proses pengambilan keputusan, 23% mahasiswa mengatakan jarang, dan 1 % mahasiswa mengatakan sering. Hal tersebut terjadi tidak lain disebabkan oleh mekanisme perumusan kebijakan yang sangat tertutup, bahkan hasil dari kebijakan yang dirumuskan seringkali tidak diketahui oleh mahasiswa karena informasi yang sangat minim. Kalaupun tidak dimungkinkan mahasiswa berada di forum pengambilan keputusan, setidaknya terlebih dahulu dilakukan serap aspirasi dari mahasiswa. Sehingga mahasiswa yang notabene adalah target group dari kebijakan tersebut dapat mengetahui untuk kemudian mengkritisi apabila kebijakan yang akan ditelurkan dinilai kurang relevan atau merugikan mahasiswa. Hal ini semacam menjadi kerugian bagi mahasiswa karena mahasiswa tidak mendapatkan pembelajaran dari proses tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"iDesainer" 1 2 3 4