Dekanat di Mata Mahasiswa: Apa kata mereka?
“Eksklusivitas Dekanat”
Pemimpin menjadi
episentrum dalam sebuah organisasi, karena terdapat peran dan fungsi yang harus
dijalankan untuk mendukung kapabilitas seseorang sebagai pemimpin. Beberapa peran yang harus dijalankan oleh
seorang pemimpin yaitu: 1) sebagai enterpreneur, 2) sebagai penanganan
kerusuhan, 3) sebagai pengalokasi sumber daya, dan 4) sebagai negosiator
(Stephen Robbins). Berdasarkan peran tersebut dapat kita lihat bahwa pemimpin
mempunyai andil yang sangat besar untuk menentukan arah organisasi yang
diterjemahkan dalam visi misi. Walaupun tidak dapat dibenarkan apabila pemimpin
dijadikan sebagai faktor utama yang menentukan tercapainya tujuan organisasi,
namun harus diakui bahwa sosok pemimpin dalam sebuah lembaga menjadi simbol
yang merepresentatifkan kualitas dari lembaga itu sendiri.
Gb. 1 Kriteria Pemimpin Ideal FISIP di Mata Mahasiswa FISIP
|
|||||||
i
|
|||||||
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Jember sebagai sebuah organisasi pendidikan tentu
memiliki pemimpin yang menggerakkan roda organisasi. Dekanat menjadi
terminologi yang digunakan untuk menyebut sosok pemimpin FISIP, termasuk juga
di fakultas lain. Dalam teori kepemimpinan, pemimpin memiliki beberapa
kriteria, seperti berwibawa, proaktif dalam mencapai sasaran, percaya diri ,
kreatif, cakap, integritas tinggi, jujur, dan dapat dipercaya. Kriteria
teoritis tersebut tidak jauh beda dengan realitas yang ada di lapangan.
Berdasarkan survey
yang dilakukan terhadap 2.255 mahasiswa FISIP (kecuali angkatan 2012) yang
tercatat sebagai mahasiswa aktif oleh
Lembaga Ilmiah Mahasiswa Sospol (LIMAS) FISIP Universitas Jember dengan
menggunakan teknik Random Sampling,
diperoleh hasil bahwa 41,7% mahasiswa FISIP menginginkan sosok pemimpin yang
tegas berwibawa, 27,4% menghendaki pemimpin yang ambisius dan berorientasi
keberhasilan, 13,2% menginginkan sifat pemimpin yang adaptif, sedangkan 17,6%
lainnya menetapkan kriteria sendiri seperti low
profile, bertanggung jawab, dan responsif. hasil tersebut menunjukkan bahwa
ketegasan seorang pemimpin masih menjadi sifat yang diharapkan oleh bawahan.
Berbicara tentang
sosok pemimpin, ada beberapa teori yang mengatakan bahwa pemimpin yang baik
adalah pemimpin yang dekat dengan yang dipimpinnya, melihat secara langsung,
dan berinteraksi dengan baik dengan publik yang dipimpin-disebut sebagai
pemimpin transformasional. ”Pemimpin Tranformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan
dan rangsangan intelektual yang diindividualkan, serta memiliki kharisma. Pemimpin seperti
ini mencurahkan perhatian pada kebutuhan pengikutnya, mereka mengubah kesadaran
pengikut akan persoalan-persoalan dengan membantu mereka memandang masalah lama dengan cara
cara baru dan mereka mampu membangkitkan serta mengilhami para pengikut untuk
mengeluarkan upaya ekstra dalam mencapai tujuan kelompok (Stephen
Robbin,62:1996).” Beberapa studi terdahulu,
diantaranya pernah dilakukan federal express, dimana para pegawai menilai bahwa atasanya cenderung meperlihatkan
kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan ini dinilai pegawainya memberikan kepuasan dan motivasi bekerja. Selain itu
hasil penilaian didapatkan bahwa manajer tipe
transformasional cenderung berprestasi tinggi. Ringkasnya kepemimpinan transformasional memiliki
peluang yang lebih besar untuk mewujudkan tingkat kepuasan pegawai yang tinggi dan produktivitas yang tinggi.
Paling tidak, bawahan
yang dipimpin itu tahu siapa pemimpinnya. Di FISIP, dekanat terdiri dari Dekan,
Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III. Masing-masing
Pembantu Dekan membawahi urusan yang berbeda-beda. Menjadi miris ketika
ternyata mayoritas mahasiswa FISIP tidak mengetahui secara pasti jumlah dekanat
yang memimpin FISIP. Sejumlah 5% mahasiswa FISIP mengatakan bahwa dekanat
berjumlah 5 orang, 20% mengatakan bahwa dekanat berjumlah 1 orang, 42%
menyebutkan bahwa dekanat berjumlah 3 orang, dan 33% lainnya menyebutkan jumlah
dekanat secara tepat, yaitu 4 orang.
Gb. 2 Jumlah dekanat yang diketahui oleh mahasiswa
|
|||
Cukup ironis memang
jika mahasiswa minimal semester 3 tidak mengetahui berapa jumlah dekanatnya,
dan sekaligus dapat kita preskripsikan sejauh mana kedekatan pemimpin dengan
rakyatnya!
Gb. 3 Frekuensi tatap
muka dekanat dengan mahasiswadi kampus (di luar jam kuliah) dalam 1 minggu
|
|||||||
Diagram tersebut
setidaknya dapat membantu kita untuk mempreskripsikan pola komunikasi Dekanat
dengan mahasiswa FISIP. Walaupun secara legal formal tidak ada regulasi yang
menuntut Dekanat untuk berkomunikasi secara intens dan baik dengan mahasiswa,
tapi hal itu telah menjadi kebutuhan non materiil yang setidaknya diusahakan
untuk dipenuhi. Belum berbicara tentang komunikasi, akan tetapi masih sebatas
tatap muka di kampus (di luar jam kuliah), sebanyak 57% mahasiswa menyatakan
tidak pernah bertatap muka dengan dekanat dalam jangka waktu satu minggu, 34%
mengatakan hanya 1 kali, 9% mengatakan sebanyak 3 kali, dan tidak ada mahasiswa
yang mengatakan 5 kali bertatap muka dalam satu minggu (dalam arti hampir
setiap hari).
Gb. 4 frekuensi komunikasi (tegur sapa) mahasiswa dengan dekanat (di luar
jam kuliah)
|
||||||
Selanjutnya, lebih
jauh dapat kita lihat intensitas komunikasi (tegur sapa) antara dekanat dengan
mahasiswa. Cukup miris karena ternyata 53% mahasiswa mengatakan tidak pernah
berkomunikasi dengan dekanat, 45% mahasiswa mengatakan jarang, sedangkan 2%
lainnya mengatakan sering berkomunikasi dengan dekanat. Dalam diagram tersebut
terlihat jelas bahwa intensitas komunikasi dari dekanat dengan mahasiswa sangat
minim, bahkan dapat dikatakan ruang komunikasi informal sangat tertutup antara
dekanat dengan mahasiswa.
Gb. 5 frekuensi pelayanan langsung dari Dekanat
|
||||||
Dekanat yang dapat
kita posisikan sebagai aktor pelayan publik tentunya harus memberikan pelayanan
prima bagi konstituennya. Minimal layanan tersebut dapat kita rasakan misalnya
dalam bentuk layanan konsultasi, penandatangan berkas, dan pembukaan seremonial
sebuah acara. Survey menunjukkan bahwa 54% mahasiswa mengatakan tidak pernah
mendapatkan pelayanan secara langsung dari Dekanat, 44% mahasiswa mengatakan
jarang, dan 2% mengatakan sering. Hal ini sedikit dapat dimaklumi karena
Dekanat yang notabene berjumlah 4 orang tidak mungkin dapat secara personal
melakukan layanan face to face dengan mahasiswa yang berjumlah lebih dari 2000
orang. Sehingga alternatif yang dapat dilakukan yaitu dekanat harus menjemput
“kerumunan massa”, secara teknis dapat dilakukan dengan aksi “Turba”.
Gb. 6 Frekuensi "Turba" dari Dekanat
|
||||||
Apa yang dapat kita
interpretasikan dari Gb.5 tersebut?
Istilah “Turba” yang
digunakan sebagai judul diagram tersebut yaitu merupakan kepanjangan dari
“turun ke bawah”. Maksudnya, seberapa sering dekanat melakukan pengamatan
langsung di lapangan, terjun langsung melihat realitas yang ada di kampus, memeriksa
pelayanan dan fasilitas kampus, dan mendengarkan secara langsung problematika
yang dialami mahasiswa. Hasil dari survey yang dilakukan cukup mengejutkan,
karena 85% mahasiswa mengatakan dekanat tidak pernah melakukan aksi “turun ke
bawah”. Suara mahasiswa tersebut cukup dapat menjadi bahan landasan bahwa pola
kepemimpinan yang dijalankan di FISIP sangat jauh dari kriteria kepemimpinan
transformasional.
Gb. 7 Keterlibatan Mahasiswa dalam Proses Pengambilan Keputusan
|
||||||
Aplikasi sebuah
kepemimpinan transformasional akan semakin optimal apabila didukung dengan
proses yang bersifat partisipatif, yaitu dengan melibatkan masyarakat yang
dipimpinnya dalam proses pengambilan keputusan. Namun, menjadi miris ketika
pada realitasnya, sebanyak 76% mahasiswa mengungkapkan tidak pernah terlibat
dalam proses pengambilan keputusan, 23% mahasiswa mengatakan jarang, dan 1 %
mahasiswa mengatakan sering. Hal tersebut terjadi tidak lain disebabkan oleh
mekanisme perumusan kebijakan yang sangat tertutup, bahkan hasil dari kebijakan
yang dirumuskan seringkali tidak diketahui oleh mahasiswa karena informasi yang
sangat minim. Kalaupun tidak dimungkinkan mahasiswa berada di forum pengambilan
keputusan, setidaknya terlebih dahulu dilakukan serap aspirasi dari mahasiswa.
Sehingga mahasiswa yang notabene adalah target
group dari kebijakan tersebut dapat mengetahui untuk kemudian mengkritisi
apabila kebijakan yang akan ditelurkan dinilai kurang relevan atau merugikan
mahasiswa. Hal ini semacam menjadi kerugian bagi mahasiswa karena mahasiswa
tidak mendapatkan pembelajaran dari proses tersebut.